Imam Ja‘far Shadiq (as) hidup dan mendidik para muridnya pada masa yang penuh tekanan, ketika lima khalifah dari Bani Umayyah dan dua khalifah kejam dari Bani Abbas berkuasa — khususnya Mansur Dawaniqi, yang menganggap dirinya paling berilmu dan terkenal dengan kekejamannya, terutama terhadap para keturunan Hasan (as). Dalam situasi politik yang sangat tegang itu, Imam Shadiq (as) dengan penuh keberanian menegakkan “Asyura ilmiah”-nya sendiri dan mendidik banyak sahabat dan murid besar.
Menurut laporan ISNA, Imam Shadiq (as) pada masa akhir kekuasaan Umayyah dan awal kekuasaan Abbasiyah memanfaatkan situasi perebutan kekuasaan antara kedua dinasti tersebut, ketika tekanan politik sedikit mereda. Beliau mengembangkan gerakan ilmiah dan keagamaan secara luas, menjadikan Madinah sebagai pusat pengajaran. Ribuan penuntut ilmu dari berbagai bidang datang, baik secara terbuka maupun sembunyi-sembunyi, untuk belajar langsung dari beliau.
Reputasi ilmiah Imam Shadiq (as) begitu besar dan dikenal luas di seluruh negeri Islam. Orang-orang dari tempat yang sangat jauh datang ke Madinah untuk mengambil manfaat dari samudra ilmu ilahi beliau. Bahkan banyak cendekiawan non-Muslim yang berdialog langsung dengan Imam, dan beliau menjawab mereka sesuai tingkat pemahaman dan ilmu masing-masing.
Para ahli hadis mencatat nama-nama perawi terpercaya dari Imam Shadiq (as), yang jumlahnya mencapai sekitar empat ribu orang, meskipun ada perbedaan pendapat di antara para ahli. Ibnu ‘Uqdah, seorang ulama Zaidiyah (bukan dari kalangan Syi‘ah Dua Belas Imam), dalam kitab Rijal-nya mencatat empat ribu perawi dan menyebutkan karya-karya mereka. Menariknya, sekitar 550 orang dari murid Imam Shadiq (as) adalah orang Persia (Iran).
Hasan bin Ali Wasyya — salah satu sahabat terhormat Imam Ridha (as) — berkata:
“Di masjid Kufah, aku menjumpai sembilan ratus guru hadis, dan semuanya berkata: ‘Telah meriwayatkan kepadaku Ja‘far bin Muhammad’.”
Banyak di antara murid Imam Shadiq (as) sendiri kemudian menjadi ulama besar dan ahli fikih pada zamannya. Di antaranya:
Zurarah bin A‘yan beserta dua saudaranya Bakr dan Hamran, Jamil bin Shalih, Jamil bin Darraj, Muhammad bin Muslim Thaifi, Burayd bin Mu‘awiyah, Hisham bin Hakam, Hisham bin Salim, Abu Bashir, Ubaydullah, Muhammad dan Imran Halabi, Abdullah bin Sinan, Abu al-Sabah Kanani, dan banyak lagi ulama besar lainnya.
Beberapa Murid Terkenal Imam Shadiq (as)
1. Jabir bin Hayyan
Ibnu Khallikan, seorang sejarawan Sunni, menulis:
“Murid Imam Shadiq (as) adalah Abu Musa Jabir bin Hayyan al-Sufi al-Tarsusi. Ia menulis kitab setebal seribu halaman yang berisi lima ratus risalah Imam Ja‘far Shadiq (as).”
2. Jamil bin Darraj
Termasuk murid khusus Imam. Diriwayatkan bahwa Imam mengajarkan rahasia-rahasia tertentu kepadanya yang tidak diajarkan kepada orang lain.
3. Laits bin Bukhtari
Ia berguru kepada Imam Muhammad Baqir (as) dan Imam Shadiq (as). Imam Shadiq (as) menyebutnya sebagai “tiang bumi dan seorang alim besar”.
4. Hisham bin Hakam
Salah satu teolog terbesar Syi‘ah dan sahabat dekat Imam Shadiq (as). Imam pernah bersabda tentangnya:
“Hisham bin Hakam adalah penjaga kebenaran kami, pendukung kejujuran kami, dan penghancur pandangan sesat musuh-musuh kami. Siapa yang mengikutinya berarti mengikuti kami, dan siapa yang menentangnya berarti menentang kami.”
5. Jabir bin Yazid Ju‘fi
Murid khusus Imam Baqir (as) dan Imam Shadiq (as). Imam Shadiq (as) bersabda tentangnya:
“Ia disebut Jabir karena dengan ilmunya ia menutupi kekurangan kaum mukmin. Ia adalah samudra ilmu dan pintu pengetahuan pada masanya.”
6. Hamran bin A‘yan
Saudara Zurarah, termasuk pengikut setia Imam Baqir (as) dan Imam Shadiq (as). Imam Baqir (as) bersabda kepadanya:
“Engkau di dunia dan akhirat adalah pengikut kami.”
Para ulama dan pemikir Syi‘ah masa kini seharusnya duduk bersama untuk membahas kekuatan pendidikan kader dan metode pengajaran Imam Baqir (as) dan Imam Shadiq (as), agar metode ini dapat dihidupkan kembali di masyarakat Islam modern.
Sebagian orang mengira banyaknya murid Imam Shadiq (as) disebabkan karena para khalifah Umayyah dan Abbas sibuk berperang sehingga membiarkan Imam bebas mengajar. Padahal, Imam mendidik murid-muridnya di masa tujuh khalifah — lima Umayyah dan dua Abbasiyah — yang sebagian sangat tiran seperti Mansur Dawaniqi. Dalam kondisi demikian, Imam Shadiq (as) tanpa rasa takut menegakkan majelis ilmunya dan melahirkan murid-murid besar.
Murid Paling Penting Imam Shadiq (as)
Salah satu murid terbesar beliau adalah Aban bin Taghlib.
Ia berasal dari Kufah dan menempuh perjalanan jauh menuju Madinah demi berguru kepada Imam Shadiq (as). Ia juga sempat belajar kepada dua Imam sebelumnya — Imam Sajjad (as) dan Imam Baqir (as).
Para ulama rijal seperti Syekh Tusi menggambarkannya sebagai “orang terpercaya, sangat mulia, ahli fikih, ahli qiraat, ahli bahasa, dan menguasai banyak cabang ilmu.”
Imam Baqir (as) pernah berkata kepadanya:
“Duduklah di masjid dan berikan fatwa kepada orang-orang, karena aku suka jika orang seperti engkau terlihat di antara para pengikutku.”
Begitu tinggi kedudukan Aban di sisi para Imam, hingga Imam Shadiq (as) memuliakannya setiap kali bertemu. Diriwayatkan, ketika Aban datang, Imam menyuruh membawakan bantal untuknya agar duduk di samping beliau, lalu Imam berdiri penuh hormat dan memeluknya.
Wafatnya Aban bin Taghlib
Ketika kabar wafatnya Aban sampai kepada Imam Shadiq (as), beliau bersabda dengan penuh kesedihan:
“Semoga Allah merahmatinya. Demi Allah, kematian Aban sungguh membuat hatiku sakit.”
Ibnu Dawud Hilli meriwayatkan bahwa Aban hafal tiga puluh ribu hadis dari Imam Shadiq (as).
Keutamaan Menghafal Hadis
Imam Shadiq (as) bersabda:
“Barang siapa menghafal empat puluh hadis dari kami tentang halal dan haram, Allah akan membangkitkannya pada hari kiamat sebagai seorang alim dan tidak akan mengazabnya.”
Dua Peringatan Imam kepada Aban
Meskipun memiliki kedudukan tinggi, Aban pernah dua kali mendapat teguran keras dari Imam Shadiq (as):
1. Tentang menolong sesama mukmin
Saat thawaf di Ka‘bah bersama Imam, ada seorang sahabat meminta bantuan Aban. Ia ragu meninggalkan Imam. Namun Imam bersabda:
“Pergilah bersamanya, meski harus memutus thawaf wajibmu.”
Lalu Imam menjelaskan makna ayat:
“Dan mereka mengutamakan orang lain atas diri mereka, walaupun mereka sendiri memerlukan (QS. al-Hasyr: 9).”
Beliau menegaskan, mengutamakan mukmin lain bahkan melebihi separuh harta kita adalah wujud nyata keimanan.
2. Tentang meninggalkan ziarah Imam Husain (as)
Suatu hari Imam bertanya kepadanya:
“Wahai Aban, kapan terakhir engkau ziarah ke makam Husain (as)?”
Aban menjawab: “Sudah lama, wahai putra Rasulullah.”
Mendengar itu, Imam sangat sedih dan bersabda:
“Subhanallah! Engkau termasuk tokoh Syi‘ah tapi meninggalkan ziarah Husain? Siapa yang menziarahinya, Allah menulis baginya satu kebaikan untuk setiap langkah, menghapus satu dosa, dan mengampuni dosa-dosa masa lalu dan yang akan datang. Saat Husain (as) gugur, tujuh puluh ribu malaikat turun ke kuburnya dan terus menangis sampai hari kiamat.”
Semua ini menunjukkan bahwa seluruh jiwa Imam Shadiq (as) terpaut kepada Sayyid al-Syuhada (Imam Husain as). Cinta dan pengorbanan seluruh Nabi dan Ahlulbait berpuncak pada Imam Husain (as).
Bagaimana Membahagiakan Hati Imam Shadiq (as)
Caranya adalah dengan membantu sesama mukmin.
Jika kita belum mampu menunaikan seluruh hak seorang mukmin, setidaknya kita bisa menolong mereka. Bulan Muharram, Idul Adha, dan Idul Ghadir sudah dekat — banyak orang ingin menikah atau sedang kesulitan ekonomi. Membantu mereka adalah cara terbaik untuk membuat hati Imam Shadiq (as) bahagia.
Aban meriwayatkan bahwa Imam Shadiq (as) bersabda:
“Siapa yang thawaf tujuh kali di Ka‘bah, Allah menulis baginya enam ribu pahala, menghapus enam ribu dosa, dan mengangkat enam ribu derajat. Namun, memenuhi kebutuhan seorang mukmin lebih utama dari thawaf itu.”
Artinya: bukalah simpul kesulitan orang lain, bukan menambah beban mereka.
[isna]

Dukung Kami