Sabtu, September 13

Mengapa Imam Ali Diam Saat Sayidah Fatimah Disakiti? Inilah Penjelasan Sejarahnya

Salah satu pertanyaan yang sering muncul dalam benak umat Islam adalah: Jika Imam Ali (as) dikenal sebagai sosok paling berani di zamannya, mengapa beliau tidak bereaksi ketika istrinya, Sayidah Fatimah az-Zahra (sa), disakiti? Mengapa beliau diam dan tidak menuntut balas?

Sosok Pemberani yang Tidak Bertindak?

Imam Ali (as) dikenal sebagai Singa Allah, penakluk benteng Khaibar, dan sosok yang mampu mengangkat pintu gerbang benteng hanya dengan satu tangan—sesuatu yang tak bisa dilakukan oleh empat puluh orang sekalipun. Maka wajar jika orang bertanya-tanya: Mengapa saat rumahnya diserbu dan istrinya dilukai, beliau memilih diam?

Pertanyaan ini bahkan telah menjadi perbincangan sejak masa awal Islam. Kaum Kufah, misalnya, pernah secara langsung menanyakan hal ini kepada Imam Ali (as). Suatu ketika, Ash’ats bin Qais bertanya: “Mengapa saat kaum dari Bani Tamim, Bani Adi bin Ka’b, dan kemudian Bani Umayyah berbaiat kepada Abu Bakar, engkau tidak mengangkat pedangmu? Namun kini engkau terus berkata bahwa engkaulah yang lebih berhak atas kekhalifahan.”

Jawaban Imam Ali: Bukan Karena Takut

Imam Ali (as) membantah bahwa dirinya diam karena takut. Beliau menjelaskan bahwa Rasulullah (saw) telah berwasiat kepadanya untuk bersabar jika tidak mendapatkan pendukung. Nabi bersabda: “Jika engkau menemukan para pendukung, berjihadlah. Jika tidak, tahanlah dirimu dan lindungi darahmu sampai engkau mendapatkan penolong untuk menegakkan agama Allah dan sunnahku.”

Imam Ali (as) kemudian mencontohkan dirinya dengan Nabi Harun (as), yang juga memilih bersabar saat terjadi fitnah Samiri, agar tidak terjadi perpecahan di kalangan Bani Israil. Ia berkata: “Aku tidak ingin Rasulullah mencelaku karena menyebabkan perpecahan di tengah umatnya atau menumpahkan darah diriku dan keluargaku.”

Usaha yang Dilakukan Imam Ali

Setelah wafatnya Rasulullah (saw), Imam Ali (as) sibuk mengurus jenazah beliau. Saat itulah, kelompok Saqifah membuat keputusan sepihak tentang kepemimpinan umat. Imam Ali (as) lalu memutuskan untuk tidak mengenakan pakaian kecuali untuk salat, dan fokus mengumpulkan Al-Qur’an.

Beliau juga mendatangi rumah-rumah kaum Anshar dan Muhajirin bersama Sayidah Fatimah (sa), Imam Hasan (as), dan Imam Husain (as), memohon dukungan. Namun dari semua yang didatangi, hanya Salman, Abu Dzar, Miqdad, dan Zubair yang bersedia mendukungnya—dan bahkan Zubair pun kemudian mengingkari sumpahnya.

Imam Ali (as) bersumpah bahwa andai saja beliau memiliki empat puluh pendukung, ia akan bangkit menuntut haknya. Tetapi nyatanya, ia hanya menemukan empat orang. Ia bahkan pernah meminta mereka mencukur kepala dan hadir esok hari sebagai tanda kesiapan, namun yang hadir hanya empat orang tersebut.

Kesabaran yang Lebih Besar dari Keberanian

Dalam kitab al-Kafi, Imam Ali (as) berkata bahwa jika ia memiliki pasukan seperti pasukan Thalut atau seperti yang ikut bertempur di Badar, ia pasti akan melawan musuh-musuhnya dengan pedang hingga mereka kembali pada kebenaran.

Namun kenyataan berbicara lain. Umat telah berpaling dan kekuatan yang ia miliki tidak cukup. Maka Imam Ali (as) memilih untuk bersabar, demi menjaga agama dan mencegah pertumpahan darah di kalangan umat Islam. Kesabarannya bukan karena ketidakberanian, melainkan karena kedewasaan dan ketundukannya pada perintah Rasulullah (saw).

Kesimpulan

Keberanian Imam Ali (as) bukanlah soal menghunus pedang setiap kali dizalimi. Keberanian sejatinya adalah mampu menahan diri saat dibutuhkan, demi maslahat yang lebih besar. Diamnya Imam Ali (as) atas serangan terhadap rumahnya dan penderitaan Sayidah Fatimah (sa) adalah bentuk pengorbanan demi keutuhan umat dan demi menjaga ajaran Islam.

Dalam peristiwa ini, kita melihat bahwa keberanian bukan hanya soal fisik dan kekuatan, tapi juga soal kedewasaan spiritual dan komitmen pada prinsip.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Dukung Kami Dukung Kami