Selama ini, konsep Riya—yaitu melakukan perbuatan baik demi mendapat pujian atau pengakuan dari orang lain—seringkali dipandang secara mutlak sebagai penyakit hati dan penghalang pahala. Namun, benarkah setiap tindakan saleh yang terlihat oleh publik selalu merupakan riya yang terlarang?
Ternyata, ada kalanya keterlihatan suatu amal justru menjadi sebuah kebutuhan, bahkan bernilai pahala yang besar. Kuncinya terletak pada niat yang mendasarinya.
Riya yang Dilarang dan Riya yang Diperlukan
Secara etimologi, riya berakar dari kata ru’yah yang berarti melihat. Meski demikian, tidak setiap perbuatan yang terlihat (disaksikan) oleh orang lain disebut riya.
Menurut para ulama, riya yang diharamkan memiliki ciri-ciri yang bersifat batin, sebagaimana disarikan dari perkataan Imam Shadiq as.:
- Bersemangat saat orang lain melihat perbuatannya.
- Merasakan kemalasan saat sendirian (tidak ada yang melihat).
- Menyukai pujian dan sanjungan atas segala tindakannya.
Pakar akhlak, Imam Khomeini ra., mendefinisikannya dengan lebih tegas: Riya adalah memperlihatkan amalan, sifat terpuji, atau kebenaran kepada orang lain semata-mata demi mencari kedudukan di hati mereka, meraih ketenaran akan kebaikan, kejujuran, dan ketaatan, tanpa didasari niat Ilahi yang benar.
Dengan demikian, riya adalah urusan hati. Perbuatan baik yang dilakukan secara terlihat (nyata) tidak akan menjadi riya selama diniatkan dengan tujuan Ilahi yang benar.
Ketika Kebaikan Perlu Ditampakkan
Justru, ada momen-momen di mana menampilkan suatu kebaikan adalah sebuah keharusan demi mencapai tujuan yang lebih mulia dan meluas, misalnya:
- Pendidikan dan Keteladanan: Untuk mengajarkan anak-anak tentang pentingnya membantu kaum fakir, terkadang perlu bagi orang tua membantu orang miskin di hadapan mereka (dengan niat karena Allah), sehingga anak dapat mengambil pelajaran dan meniru kebaikan tersebut. Demikian pula dalam mendidik anak shalat; mereka perlu melihat orang tua mereka shalat, termasuk shalat berjamaah, sebagai teladan.
- Menyebarkan Syiar Agama: Dalam sebuah peristiwa yang diriwayatkan dari Hujjatul Islam Hadi Ajami, beliau menceritakan tentang anjuran kepada juara gulat Iran, Rasul Khadem, untuk melakukan sujud syukur di depan umum setelah memenangkan pertandingan di Amerika. Ketika Rasul Khadem bertanya apakah hal itu tidak termasuk riya, dijawab bahwa riya yang terlarang adalah yang bertujuan mempromosikan diri sendiri. Sebaliknya, menunjukkan kelemahan diri di hadapan Allah dan mengakui keagungan-Nya, apalagi di negeri asing, adalah bentuk penampakan keimanan yang terpuji. Sujud syukur tersebut ditayangkan oleh stasiun-stasiun TV dunia, dan menjadi syiar keislaman yang menonjol.
- Aktivitas Kolektif dan Komunal: Beberapa ibadah, seperti shalat berjamaah dan azan, memang harus diperlihatkan, bahkan sangat dianjurkan. Bahkan, dalam konteks menampakkan kesedihan di majelis musibah Ahlulbait as., Imam Shadiq as. menganjurkan untuk berusaha menampakkan kesedihan (berpura-pura menangis) jika tangisan tidak muncul, dan hal itu dijanjikan surga. Ini menunjukkan nilai besar dari penampakan syiar dan emosi keagamaan di ruang publik.
Riya yang Hukumnya Wajib (Wajib Kifayah)
Contoh paling jelas dari “riya yang diwajibkan” adalah shalat berjamaah.
Imam Ridha as. menjelaskan bahwa Allah SWT mensyariatkan shalat berjamaah agar syiar-syiar Islam dan makrifat Ilahi—seperti keikhlasan, tauhid, nilai-nilai Islam, ibadah, dan doa—menjadi terang, tampak, dan tersebar luas. Penampakan ini akan menjadi hujjah (bukti) Allah bagi seluruh manusia, sekaligus memisahkan kaum munafik dan mereka yang meremehkan shalat.
Dengan kata lain, shalat berjamaah harus dilakukan secara terlihat agar tauhid mengalir dalam masyarakat. Allah menyukai orang-orang mukmin yang secara terbuka mendeklarasikan kecintaan mereka kepada-Nya di tengah masyarakat.
Hal ini menjadi dasar bagi gerakan sosial keagamaan yang masif, seperti pembacaan syair keimanan, perkumpulan di hari raya, hingga pawai besar. Ini adalah manifestasi keimanan, ketauhidan, dan khususnya wilayah (kepemimpinan suci) di ruang publik.
Berdasarkan tinjauan ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa agama menghendaki (sebagai Mazaq Syar’) agar tauhid dan Islam ditampakkan di masyarakat dengan tujuan memengaruhi khalayak luas dan meredam gerakan orang-orang munafik.
Pada tingkat tertentu, penampakan nilai-nilai ibadah ini bahkan bisa menjadi Wajib Kifayah—kewajiban kolektif—bagi masyarakat Islam. Hingga kebutuhan pertumbuhan keimanan masyarakat tercukupi, kewajiban ini diemban oleh seluruh lapisan masyarakat, dipimpin oleh penguasa Islam.
Sebagai penutup, seorang mukmin diajarkan untuk tidak melakukan perbuatan baik karena riya, tetapi juga tidak boleh meninggalkan kebaikan karena malu atau segan terhadap orang lain. Ketika niatnya tulus karena Allah, keterlihatan amal justru menjadi panggilan untuk inspirasi, pendidikan, dan syiar agama yang mencerahkan.

Dukung Kami