Sabtu, September 13

Bagaimana Imam Hasan Askari as Syahid

Khalifah Abbasiyah, Muʿtamid, selalu merasa khawatir terhadap popularitas dan kedudukan sosial Imam Abu Muhammad Hasan Askari (as). Ia melihat bahwa meskipun segala bentuk pembatasan telah dilakukan terhadap beliau, bukan hanya tidak mengurangi dukungan rakyat dan pengaruh spiritual Imam, tetapi justru semakin menambah kecintaan mereka kepada beliau. Kekhawatiran dan ketakutan Muʿtamid pun semakin bertambah, hingga akhirnya ia memutuskan untuk membunuh Imam. Secara rahasia, ia meracuni Imam Hasan Askari (as) sehingga kaum Syiah terhalangi dari cahaya bimbingan beliau.

Metode pembunuhan dengan racun semacam ini sebelumnya juga dilakukan oleh para khalifah Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah terhadap para Imam Ahlulbait (as). Para Imam Syiah berusaha menjelaskan makar-makar ini kepada umat agar wajah asli para penguasa zalim itu tersingkap bagi generasi mendatang.

Dengan ilmu khas yang dimilikinya, Imam Hasan Askari (as) telah menubuatkan bahwa dalam waktu dekat beliau akan meninggalkan dunia dan menuju hadirat Allah. Imam mengabarkan kepada ibundanya bahwa di tahun 260 H, beliau akan syahid oleh tangan para agen pemerintahan Abbasiyah. Mendengar hal itu, hati sang ibu remuk dan ia menangis. Imam pun menenangkannya:

“Wahai Ibu, ketetapan Allah itu pasti, janganlah engkau gelisah.”

Pada tahun 260 H, sebagaimana yang telah beliau sampaikan, musibah itu benar-benar terjadi. Imam Hasan Askari (as) diracun dan jatuh sakit parah.

Beberapa hari sebelum wafatnya, Imam dibawa ke hadapan Muʿtamid. Saat itu, Muʿtamid tampak sangat gelisah, karena ia melihat bahwa seluruh rakyat memuliakan Imam Abu Muhammad (as) dan menempatkannya lebih tinggi daripada semua keturunan Alawi maupun Abbasiyah. Dari sinilah ia kemudian meracuni Imam dengan racun yang sangat mematikan.

Setelah menelan racun, tubuh suci Imam segera dirundung sakit parah. Muʿtamid memerintahkan lima orang pejabat dekatnya, termasuk Nahrir, untuk mengawasi rumah Imam dan memantau setiap kejadian. Ia juga menugaskan dokter-dokter istana agar setiap pagi dan sore memeriksa kondisi Imam. Ketika pada hari kedua sakit beliau semakin parah, Muʿtamid melarang para dokter meninggalkan rumah Imam dan memerintahkan mereka selalu berada di sisi beliau.

Selain dokter-dokter yang diutus, 15 orang lainnya dari pihak khalifah juga ditempatkan di rumah Imam untuk memastikan semua peristiwa bisa disaksikan, dan agar mereka bisa bersaksi seakan Imam wafat dengan “kematian alami.”

Pada malam menjelang wafat, Imam Hasan Askari (as) menulis banyak surat ke berbagai wilayah yang dihuni kaum Syiah, dan mengirimkannya lewat kurir khusus. Kondisi beliau makin melemah, dokter-dokter putus asa, dan setiap saat ajal makin dekat. Dalam detik-detik terakhir, beliau senantiasa berzikir, memuji Allah, dan melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an. Akhirnya, beliau menghadap kiblat, dan ruh sucinya terbang ke hadirat Allah.

Tragedi besar itu terjadi pada hari Jumat, 8 Rabi’ul Awwal 260 H, setelah salat Subuh.

Kewafatan beliau begitu mengejutkan kaum Muslimin. Mereka kehilangan pemimpin agung, pembela kaum miskin, anak yatim, dan orang-orang lemah. Tangisan menggema dari rumah Imam, hingga suara ratapan keluarga Nabi terdengar di seluruh kota Samarra.

Berita kesyahidan Imam menyebar cepat laksana petir yang menggetarkan hati. Seluruh kota Samarra diliputi duka. Pasar-pasar ditutup, kantor pemerintahan berhenti, dan suasana perkabungan meliputi kota—seolah Samarra berubah menjadi padang Mahsyar.

Belum pernah Samarra menyaksikan prosesi pemakaman sedahsyat itu. Lautan manusia dari berbagai kalangan dan keyakinan datang, semua membicarakan keutamaan, sifat-sifat, dan kehilangan besar yang menimpa umat Islam akibat wafatnya Imam Hasan Askari (as).

Pemulasaraan jenazah beliau ditangani oleh Utsman bin Saʿid ʿAmri. Hal ini tidak bertentangan dengan keyakinan Syiah bahwa seorang Imam harus dimandikan, dikafani, dan disalatkan oleh Imam setelahnya. Sebab, dalam kondisi darurat dan taqiyah, Imam Mahdi (as) melaksanakannya secara tersembunyi, sementara secara lahiriah tampak Utsman bin Saʿid yang menanganinya.

Diriwayatkan, ketika jenazah siap dimakamkan, khalifah mengutus saudaranya, Abu ʿIsa bin Mutawakkil, untuk menyalatkan. Sebelum salat, wajah Imam diperlihatkan kepada para saksi dari kalangan Alawi, Abbasiyah, qadhi, pejabat, dan lain-lain, lalu diumumkan bahwa “Abu Muhammad Hasan Askari telah wafat dengan kematian alami.” Setelah itu Abu ʿIsa menyalatinya.

Namun menurut riwayat Syiah, sebelum salat tersebut, Imam Mahdi (as) muncul secara tersembunyi di rumah dan maju menyalatkan ayahandanya sendiri, mendahului yang lain.

Imam Hasan Askari (as) jatuh sakit pada awal bulan Rabi’ul Awwal 260 H akibat racun Muʿtamid, dan pada hari kedelapan bulan itu beliau syahid. Sejak saat itu, Imam Mahdi (as) memulai kepemimpinannya sebagai Imam, meskipun berada dalam keadaan ghaib. Syiah meyakini bahwa beliau akan muncul kembali di masa depan untuk memenuhi dunia dengan keadilan dan kebenaran.

[tadabbor.org]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Dukung Kami Dukung Kami