Sabtu, September 13

Membongkar Kesalahpahaman: Azar Bukan Ayah Kandung Nabi Ibrahim yang Kafir

Kata Kunci: Kafir, Keturunan Suci, Leluhur Nabi Muhammad SAW, Azar Paman Nabi Ibrahim, Terakh Ayah Nabi Ibrahim.

Pertanyaan Kunci: Apakah ayah Nabi Ibrahim seorang kafir?

Intisari Jawaban: Nabi Ibrahim adalah pribadi yang teguh dalam tauhid, bukan Yahudi, bukan Nasrani, melainkan seorang Muslim yang hanif, jauh dari kemusyrikan, sebagaimana firman Allah dalam Surah Ali ‘Imran (3):67. Ajaran Islam sejatinya adalah kelanjutan dari risalah yang dibawa oleh Nabi Ibrahim, seperti yang ditegaskan dalam Al-Qur’an (QS An-Nisa (4):125 dan QS Al-Hajj (22):78).

1. Nabi Ibrahim dan Kemurnian Silsilah Kenabian

Nabi Ibrahim adalah salah satu nabi Ulul Azmi yang besar, dianugerahi kitab suci dan ajaran tauhid (Islam yang hanif). Penting untuk dipahami bahwa Nabi Muhammad SAW dan para Imam Maksum adalah keturunan langsung dari Nabi Ibrahim. Silsilah kenabian ini selalu terjaga dalam kemurnian mutlak, tanpa sedikit pun noda syirik, kekafiran, atau kemunafikan.

Hal ini secara indah diungkapkan dalam Ziarah Waris (ziarah Imam Hussein as), di mana kita bersaksi: “Aku bersaksi bahwa engkau (Imam Hussein) adalah cahaya dalam tulang sulbi yang mulia dan rahim yang suci. Kejahilan tidak pernah menodaimu dengan kekejiannya, dan ia tidak pernah memakaikanmu pakaian kegelapannya.” Ini menegaskan bahwa para imam, dan secara implisit seluruh leluhur Nabi Muhammad termasuk Nabi Ibrahim, berasal dari ayah dan ibu yang suci, yang tidak pernah terjerumus dalam kekafiran atau kemusyrikan. Oleh karena itu, adalah tidak mungkin ayah kandung Nabi Ibrahim adalah seorang kafir.


2. Mengatasi Mispersepsi: Peran Azar dalam Kisah Ibrahim

Beberapa pihak keliru menganggap ayah Nabi Ibrahim kafir, kemungkinan besar karena penafsiran literal ayat-ayat Al-Qur’an seperti dalam Surah Al-An’am (6):74 dan Surah Maryam (19):42, di mana Nabi Ibrahim berdialog dengan “ayahnya” bernama Azar yang menyembah berhala.

Namun, kekeliruan ini dapat diluruskan dengan memahami konteks bahasa dan sejarah. Nabi Ibrahim, yang sejak kecil telah dianugerahi petunjuk ilahi (QS Al-Anbiya (21):51), sangat membenci praktik penyembahan berhala. Ia secara konsisten menentang lingkungan sekitarnya, termasuk sosok yang disebut “ayahnya” – Azar.

Azar bukanlah ayah kandung Nabi Ibrahim. Berdasarkan riwayat dan sejarah terpercaya, silsilah Nabi Ibrahim adalah: Ibrahim bin Terakh (Tarakh) bin Nahor bin Serug bin Reu bin Peleg bin Eber bin Syelakh bin Arpakhsyad bin Sam bin Nuh.

Azar adalah wali (pengasuh) atau paman Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim kemungkinan kehilangan ayahnya (Terakh) sejak kecil atau bahkan sebelum lahir, sehingga ia diasuh oleh pamannya, Azar, yang juga menikah dengan ibunya. Dalam budaya Arab dan bahkan sebagian budaya non-Arab, seorang paman, terutama yang mengambil alih peran ayah dalam pengasuhan, sering kali dipanggil “ayah” (ab). Al-Qur’an menggunakan istilah “ab” (ayah) dalam konteks ini, yang sifatnya lebih umum dan dapat merujuk kepada paman atau pengasuh. Bukti lain ada di QS Al-Baqarah (2):132, di mana Ismail (paman Nabi Ya’qub) disebut sebagai “ayah” bagi Ya’qub.

Azar sendiri adalah seorang pemahat patung, ahli nujum bagi Raja Namrud, dan pembuat berhala. Ini menjelaskan mengapa Nabi Ibrahim berselisih paham dengannya.


3. Dialog Ibrahim dengan Azar dan Penjelasan Lebih Lanjut

Dalam awal perjuangannya melawan penyembahan berhala, Nabi Ibrahim menghadapi Azar. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an (QS Maryam (19):46), Azar menolak seruan tauhid Ibrahim dan bahkan mengancamnya dengan rajam. Ibrahim, meskipun demikian, tetap bersikap lembut dan mendoakan ampunan bagi Azar. Ini menunjukkan bahwa hubungan mereka adalah hubungan pengasuhan, bukan hubungan darah yang sakral dalam silsilah kenabian.


4. Perspektif Mendalam dari Allamah Thabathabai

Allamah Thabathabai, seorang mufassir terkemuka, memberikan penjelasan yang sangat kokoh untuk mengatasi mispersepsi ini. Beliau menekankan perbedaan antara kata “ab” (ayah, yang bisa berarti paman atau pengasuh) dan “walidayya” (kedua orang tua kandung).

Dalam doa Nabi Ibrahim setelah membangun Ka’bah (QS Ibrahim (14):41), beliau memohon ampunan untuk “walidayya” (kedua orang tua kandungnya). Doa ini adalah doa yang mustajab, dan Allah SWT tidak akan menerima doa untuk orang musyrik, bahkan jika yang berdoa adalah seorang nabi (QS At-Taubah (9):114). Ini membuktikan bahwa orang tua kandung Nabi Ibrahim adalah orang-orang mukmin, karena doa beliau untuk mereka dikabulkan.


5. Kesimpulan Tegas: Ayah Kandung Nabi Ibrahim Bukan Kafir

Ada dua jalur utama untuk membuktikan bahwa ayah kandung Nabi Ibrahim bukanlah seorang kafir:

  1. Melalui Riwayat dan Akidah Syiah: Ajaran Islam, khususnya akidah Syiah, secara konsisten menyatakan bahwa leluhur para nabi, termasuk Nabi Muhammad SAW, adalah para penganut tauhid sejati. Mereka tidak pernah menyembah berhala atau mengingkari Tuhan. Ini adalah prinsip fundamental dalam kepercayaan Syiah mengenai kesucian silsilah kenabian.
  2. Melalui Konteks Al-Qur’an itu Sendiri: Seperti yang dijelaskan oleh Allamah Thabathabai, Azar bukanlah ayah kandung Nabi Ibrahim. Ayah kandungnya adalah sosok yang didoakan secara khusus oleh Nabi Ibrahim setelah pembangunan Ka’bah. Karena Allah tidak menerima doa untuk orang musyrik, maka jelaslah bahwa ayah kandung Nabi Ibrahim adalah seorang mukmin. Nama ayah kandungnya adalah Terakh (Tarakh), sebagaimana disebutkan dalam Taurat dan catatan sejarah.

Tambahan pula, prinsip keimanan juga menegaskan bahwa para nabi adalah maksum (terpelihara dari dosa dan kesalahan), terutama dalam hal akidah. Mustahil bagi seorang maksum memiliki ayah yang musyrik atau kafir. Semua nabi berasal dari garis keturunan para penyembah Tuhan yang lurus.

Sumber: WikiPorsesh

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Dukung Kami Dukung Kami