Pertanyaan:
Imam Ali (as) pada zamannya memakai pakaian usang, tetapi Imam Shadiq (as) memakai pakaian baru! Pernyataan Imam Shadiq (as) yang mengatakan, “Zaman kami berbeda dengan zaman Imam Ali (as)” tidaklah cukup meyakinkan! Tolong jelaskan dengan dalil dan referensi yang kuat!
Jawaban:
Almarhum Syahid Murtadha Muthahhari (ra) telah menjawab kebingungan dan syubhat (keraguan) semacam ini dengan relatif komprehensif dan teliti. Beliau berkata:
“Salah satu karakteristik agama Islam yang mulia adalah bahwa ia selalu memberikan cap yang tetap (tsabit) pada kebutuhan-kebutuhan tetap manusia, namun menjadikan kebutuhan-kebutuhan yang berubah (mutaghayyir) manusia tunduk pada kebutuhan-kebutuhan yang tetap itu (tanpa mengabaikan sifatnya yang berubah dan tanpa mengacuhkannya)… Terkadang Anda mungkin menemui masalah di mana dalam beberapa hal, perjalanan hidup (sirah) Nabi saw berbeda dengan sirah salah seorang Imam (as), atau berbeda dengan sirah dan metode Ali bin Abi Thalib (as) atau Imam lainnya. Anda melihat Imam Hasan melakukan perdamaian, sedangkan Imam Husain berperang. Anda melihat Ali bin Abi Thalib (as) pakaiannya terdiri dari dua jubah sederhana, sementara Imam Zainal Abidin (as) memakai pakaian dari bulu binatang (khazz). Beliau setiap tahun menyiapkan pakaian khazz baru untuk dirinya sendiri, tetapi dalam sirah Nabi saw, kedua hal yang berbeda ini tidak ditemukan.
Dalam kitab Al-Kafi disebutkan bahwa suatu hari Sufyan Ats-Thauri masuk menemui Imam Shadiq (as). Saat itu Imam mengenakan pakaian putih yang sangat halus, seperti kulit telur yang tipis. Begitu matanya melihat pakaian itu, dia memprotes Imam, “Mengapa Anda harus memakai pakaian seperti ini?” Imam berkata, “Apa salahnya?” Sufyan berkata, “Apakah Anda harus termasuk ahli dunia?” Imam berkata, “Pada dasarnya, semua nikmat dunia adalah untuk orang-orang yang saleh, bukan untuk orang-orang yang fasik! Wahai Sufyan! Terkadang seseorang berbicara karena sakit dan dengan niat buruk, dan terkadang dia melakukan kesalahan! Jika kamu keliru, aku harus menjelaskannya untukmu.” Sufyan lalu bangkit dan pergi.
Kemudian, sekelompok orang yang mengaku zuhud dan sepemikiran dengan Sufyan datang kepada Imam dan berkata, “Teman kami, Sufyan, tidak bisa menjawab (argumen) Anda, tetapi kami datang untuk berdebat dengan Anda. Kami tidak menerima perkataan yang Anda ucapkan.” Imam berkata, “Baiklah, jika kita hendak berdebat, prinsip apa yang harus kita jadikan dasar?” Mereka menjawab, “Al-Qur’an.” Imam berkata, “Tidak ada yang lebih baik daripada Al-Qur’an! Tetapi dengan syarat kamu memahaminya.” Kemudian Imam berkata, “Aku tahu bahwa pokok pembicaraan yang ada dalam hatimu adalah masalah sirah Nabi dan para sahabat. Yang ada dalam pikiranmu adalah bahwa Nabi dan Imam Ali (as) tidak memakai pakaian seperti ini, lalu mengapa kamu memakainya?” Imam bersabda, “Kamu tidak tahu bahwa masalah ini tidak terkait dengan Islam, tetapi terkait dengan zaman. Seandainya Nabi berada pada zamanku, dia akan berpakaian sepertiku. Seandainya aku berada pada zaman Nabi, aku akan berpakaian seperti beliau. Dalam hal ini, yang memiliki keaslian (ashalah) dalam Islam adalah muwasat (solidaritas, merasakan penderitaan orang lain); yaitu, umat Islam harus merasakan simpati (saling berbagi rasa), seorang Muslim harus menunaikan hak harta yang wajib. Ini juga merupakan perkara yang tetap dan ada di semua zaman. Seorang Muslim harus percayanya kepada Allah, bukan kepada uang. Inilah makna zuhud yang sebenarnya.”
Kemudian Imam bersabda: “Adapun bagaimana seseorang harus memilih jenis pakaiannya, ini adalah masalah zaman. Pada zaman Nabi, kondisi umum masyarakat sangat sulit dan menyedihkan… Ketika Rasulullah saw datang ke rumah Fatimah (as) dan melihat ada tirai (kelambu) yang digantung, beliau langsung berpaling (untuk pergi). Sayidah Zahra (as) langsung menyadarinya, segera melepas tirai tersebut dan gelang perak yang ada di tangannya, lalu membawanya kepada Rasulullah saw untuk dibagikan kepada orang-orang fakir. Inilah prinsip muwasat. Pada zaman itu, muwasat menuntut hingga tidak ditemukannya sehelai tirai pun di rumah seseorang. Tetapi sekarang, di zaman kita, di era di mana kekaisaran terbesar di dunia telah terbentuk, kehidupan masyarakat telah berubah. Namun, aku tetap tidak boleh melampaui batas kewajaran (moderat). Pakaian yang aku kenakan hari ini adalah pakaian yang wajar (moderat) untuk zaman sekarang. Artinya, dalam Islam, kain (material) bukanlah sesuatu yang prinsipil sehingga harus memakai satu jenis pakaian tertentu. Islam memiliki prinsip-prinsip yang berdasarkan itu seseorang harus berpakaian, dan prinsip-prinsip itu adalah tetap. Prinsip-prinsip itulah yang mengubah kewajiban manusia sesuai dengan zaman. Jika sesuatu memiliki keaslian (prinsipil) dalam pandangan Islam, maka ia tidak dapat berubah. Tetapi sesuatu yang tidak diberikan cap (prinsipil) oleh Islam—seperti (jenis) pakaian—adalah bentuk implementasi untuk sesuatu yang telah diberikan cap tersebut. Jadi, lihatlah, di sini zaman mengubah taklif (kewajiban). Jika tidak demikian, jika hal-hal parsial (cabang) ini bersifat prinsipil, mustahil Ali bin Abi Thalib (as) melakukan suatu cara dan Imam yang lain melakukan cara yang berbeda. Ibadah kepada Allah adalah prinsipil, takut kepada Allah adalah prinsipil, muwasat dan memperhatikan orang-orang fakir adalah prinsipil. Apa yang dilakukan Ali bin Abi Thalib (as), Imam Sajjad (as) juga melakukannya. Ali bin Abi Thalib (as) sibuk beribadah dari malam hingga pagi, Imam Sajjad (as) juga demikian. Imam Amirul Mukminin (as) pergi mengurus orang-orang fakir pada malam hari, Imam Sajjad (as) juga melakukannya, Imam Ridha (as) juga melakukannya. Mereka semua menghibur dan memperhatikan orang-orang fakir. Adapun pakaian seperti apa yang dipakai seseorang, itu terkait dengan zamannya.”
Rekomendasi Sumber untuk Studi Lebih Lanjut:
Buku Islam dan Tuntutan Zaman (Islam va Moqtazhay-e Zaman) karya Syahid Muthahhari, khususnya 5 bagian/bab tentang:
- Sebab Perubahan Tuntutan Zaman
- Dua Jenis Perubahan dalam Zaman
- Tuntutan Zaman (1)
- Tuntutan Zaman (2)
- Perubahan Zaman dalam Sejarah Islam