Jika kita telusuri pandangan para ulama besar Syiah, kita akan mendapati bahwa mereka secara tegas menolak keyakinan adanya tahrif (penambahan atau pengurangan) dalam Al-Qur’an. Mereka menganggap isu tahrif hanya bersumber dari riwayat tunggal yang tidak bisa dijadikan pegangan akidah. Berikut beberapa pandangan mereka:
- Syaikh Shaduq (wafat 381 H) mengatakan: Keyakinan kami adalah bahwa Al-Qur’an adalah Kitab Allah dan wahyu-Nya yang diturunkan. Allah sendiri berfirman bahwa kebatilan tak bisa menyentuhnya dari arah manapun. Ia adalah wahyu dari Tuhan yang Mahabijaksana dan Maha Terpuji: “Sesungguhnya ia adalah kitab yang mulia…” Al-Qur’an adalah kisah kebenaran yang memisahkan antara yang benar dan yang batil. Ia bukanlah candaan atau hal sia-sia. Allah-lah yang menciptakannya, menurunkannya, memeliharanya, dan menjadikannya sebagai hujjah (bukti kebenaran).
- Syaikh Mufid (wafat 413 H) menjawab tuduhan tahrif yang didasarkan pada riwayat-riwayat yang menyebut perbedaan kata dalam Al-Qur’an dengan mengatakan: Itu semua hanyalah riwayat tunggal (khabar ahad) yang tidak memiliki keabsahan kuat. Karenanya, kami memilih untuk bersikap tawaqquf (tidak memastikan kebenarannya), dan tetap berpegang pada teks Al-Qur’an yang ada saat ini.
- Sayyid Murtadha (wafat 436 H) menjelaskan: Para sahabat seperti Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, dan lainnya telah membaca dan menuntaskan bacaan Al-Qur’an di hadapan Nabi berkali-kali. Hal ini menunjukkan bahwa di masa Nabi, Al-Qur’an telah tersusun rapi dan tidak tersembunyi atau berserakan.
- Syaikh Thusi (wafat 460 H) berkata: Pembahasan mengenai penambahan atau pengurangan dalam Al-Qur’an tak layak dibicarakan. Penambahan jelas ditolak oleh ijma’ (kesepakatan ulama). Sedangkan pengurangan bertentangan dengan pendapat mayoritas umat Islam, dan lebih dekat kepada akidah yang benar menurut kami.
- Sayyid Ibn Thawus (wafat 664 H) menyatakan dengan jelas: Keyakinan Syiah adalah bahwa tidak ada tahrif dalam Al-Qur’an.
- Allamah Hilli (wafat 726 H) mengatakan: Yang benar adalah tidak terjadi perubahan, pemindahan, penambahan atau pengurangan dalam Al-Qur’an. Na’udzubillah dari keyakinan seperti itu, karena hal itu justru meragukan mukjizat abadi Nabi Muhammad yang diriwayatkan secara mutawatir.
- Qadhi Nurullah Shustari (wafat 1029 H) menegaskan: Tuduhan bahwa Syiah meyakini adanya tahrif Al-Qur’an adalah keliru. Hanya segelintir orang yang berpandangan seperti itu, dan mereka pun tidak memiliki kedudukan di tengah mazhab Syiah.
Dua Isu yang Sering Disalahpahami
1. Adanya “Mushaf Ali”
Ibnu Nadim (wafat 385 H) meriwayatkan bahwa setelah wafatnya Rasulullah, Imam Ali melihat keadaan masyarakat yang kacau, lalu beliau bersumpah tidak akan keluar rumah sebelum mengumpulkan Al-Qur’an. Beliau melakukannya dalam tiga hari.
Yaqut bin Yusuf al-Hamawi (wafat 290 H) juga menyebut dalam sejarahnya bahwa Imam Ali membagi mushaf itu ke dalam tujuh bagian. Namun setelah diteliti, ternyata mushaf tersebut sama dengan Al-Qur’an yang kita miliki sekarang dari segi ayat dan suratnya. Yang berbeda hanyalah urutan surat-suratnya. Ini menunjukkan bahwa susunan surat dilakukan berdasarkan ijtihad para sahabat dan pengumpul, sementara penempatan ayat-ayat dilakukan atas petunjuk langsung Nabi.
2. Adanya “Mushaf Fatimah”
Banyak riwayat menyebutkan bahwa Sayidah Fatimah memiliki sebuah mushaf. Namun di sini, kata mushaf tidak secara eksklusif merujuk pada Al-Qur’an. Mushaf Fatimah adalah sebuah kitab yang berisi informasi ghaib dan peristiwa-peristiwa masa depan yang disampaikan kepada beliau setelah wafatnya Nabi.
Abu Hamzah Ats-Tsumali meriwayatkan dari Imam Ja’far Shadiq: “Di mushaf Fatimah tidak terdapat sedikit pun dari Al-Qur’an. Isinya adalah informasi yang diturunkan setelah wafat Nabi kepada Fatimah.”
Anehnya, sebagian pihak memanfaatkan istilah “Mushaf Fatimah” untuk menyebarkan tuduhan palsu bahwa Syiah memiliki Al-Qur’an yang berbeda. Padahal ini hanyalah propaganda yang gagal.
Sejarah Pengumpulan Al-Qur’an
Al-Qur’an telah dikumpulkan sejak masa hidup Rasulullah. Urutan surat dan ayatnya disusun berdasarkan petunjuk langsung beliau. Banyak bukti sejarah yang menguatkan hal ini, termasuk sabda Nabi yang menyebut surat Al-Fatihah sebagai “Ummul Kitab” dan mengatakan bahwa tidak sah shalat tanpa membacanya.[10] Ini menandakan bahwa Al-Qur’an sudah tersusun sejak saat itu.
Ada enam orang yang mengumpulkan Al-Qur’an di masa Nabi: Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Mu’adz bin Jabal, Abu Darda, Sa’d bin Ubadah, dan Abu Zaid. Beberapa riwayat juga menyebut Mujammi’ bin Jariyah hanya tidak menghafal dua surat terakhir.
Qatadah pernah bertanya kepada Anas bin Malik siapa saja yang mengumpulkan Al-Qur’an di masa Nabi. Ia menjawab: “Empat orang dari kaum Anshar: Ubay, Mu’adz, Zaid, dan Abu Zaid.”
Dari Abdullah bin Umar diriwayatkan bahwa ia membaca Al-Qur’an setiap malam. Nabi pun menasihatinya agar membacanya sebulan sekali.
Diriwayatkan dari Utsman bin Affan, setiap kali wahyu turun, Nabi akan memanggil para penulis wahyu dan memberi arahan penempatan ayat sesuai surat tertentu.
Abu Abdillah Zanjani, penulis Tarikhul Qur’an, menyatakan bahwa sebagian sahabat memang mulai mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an sejak masa Nabi. Namun koleksi yang utuh disempurnakan setelahnya.
Hadis Tsaqalain juga menunjukkan bahwa Al-Qur’an sudah lengkap pada masa Nabi. Dalam hadis itu, Nabi bersabda:
“Aku tinggalkan dua pusaka berharga di tengah kalian: Kitab Allah dan Ahlul Baitku. Kalian tidak akan tersesat jika berpegang pada keduanya, dan keduanya tidak akan berpisah hingga bertemu denganku di telaga Kautsar.”
Penutup
Keagungan Al-Qur’an dan pentingnya peran wahyu ini bagi umat Islam sangat jelas. Maka sangat tidak masuk akal jika ada riwayat yang menyebutkan bahwa Al-Qur’an baru dikumpulkan setelah wafat Nabi. Sebab Al-Qur’an adalah sumber utama keimanan, fondasi kerasulan, dan simbol eksistensi umat Islam.
Rasulullah juga telah menunjuk para penulis wahyu yang bertugas menulis Al-Qur’an setiap kali wahyu turun. Beberapa surat dan ayat memang tersebar di kalangan umat, dan hal ini tercatat dalam banyak riwayat.
Anggapan bahwa Al-Qur’an baru dikumpulkan di masa para khalifah merupakan kesalahpahaman. Yang benar, pengumpulan Al-Qur’an sudah terjadi di masa Nabi, dan peran khalifah hanyalah menyeragamkan bacaan (qira’at).
Adapun laporan bahwa Imam Ali mengumpulkan Al-Qur’an setelah wafat Nabi bukan berarti mengumpulkan dari nol, melainkan menyusun ayat sesuai urutan turunnya wahyu dan menjelaskan konteks sebab turunnya ayat.
Ringkasan
- Para ulama besar Syiah sepakat menolak doktrin tahrif Al-Qur’an.
- Dua isu yang sering disalahpahami: Mushaf Ali dan Mushaf Fatimah.
- Mushaf Ali hanya berbeda dari segi urutan surat, bukan isi.
- Mushaf Fatimah bukan Al-Qur’an, melainkan kumpulan wahyu ghaib dan informasi masa depan.
- Al-Qur’an sudah dikumpulkan di masa Nabi dan tersusun atas bimbingan beliau langsung.
- Hadis Tsaqalain memperkuat bahwa Al-Qur’an di zaman Nabi sudah final dan tidak perlu disusun ulang.