Setelah para tawanan dari Persia (Iran) dibawa ke Madinah, Umar berencana menjual para perempuan sebagai budak dan memperbudak para laki-laki. Namun, Imam Ali (a.s) menentang keputusan itu dengan mengingatkan sabda Rasulullah (s.a.w): “Hormatilah tokoh-tokoh terkemuka setiap kaum, meskipun mereka berbeda keyakinan dengan kalian.” Imam Ali menyatakan bahwa para tawanan ini telah tunduk, mencintai Islam, dan dari keturunan mereka akan lahir anak-anaknya. Maka beliau membebaskan bagian tawanan yang menjadi haknya karena Allah, dan seluruh Bani Hasyim mengikuti jejak beliau.
Kaum Muhajirin dan Anshar pun memberikan bagian mereka kepada Imam Ali, yang kemudian juga membebaskannya karena Allah. Umar bertanya mengapa Imam Ali menentang keputusannya, dan beliau kembali mengingatkan sabda Nabi. Umar akhirnya menyerahkan haknya dan hak orang lain yang belum membebaskan, kepada Imam Ali dan Allah.
Sebagian orang Quraisy tertarik menikahi para perempuan Persia tersebut. Imam Ali menegaskan bahwa mereka tidak boleh dipaksa menikah, melainkan harus diberikan hak untuk memilih. Ketika mereka melamar Shaharbanu, putri Raja Yezdgerd, dia hanya diam ketika ditanya, yang menurut Imam Ali merupakan tanda setuju. Ketika diminta memilih, Shaharbanu dua kali menunjuk kepada Imam Husain (a.s), menandakan keinginannya untuk menikah dengannya.
Imam Ali lalu menjadi walinya, dan Hudzayfah membacakan akad nikah. Setelah itu, Imam Ali bertanya nama Shaharbanu, dan ketika ia menjawab “Shah Zanan” (Ratu Para Perempuan), Imam Ali mengatakan bahwa gelar tersebut milik Sayidah Fatimah (a.s), lalu memberinya nama Shaharbanu, dan menyebutkan bahwa nama saudarinya adalah Morvarid (Mutiara), yang ia benarkan.
Sumber: ahlolbait.com