Prinsip “do it all or not at all” (kerjakan semua atau tidak sama sekali) memang bertentangan secara makna dengan perkataan Imam Ali bin Abi Thalib (as) yang diriwayatkan dalam Nahjul Balaghah:
“Jika tidak bisa dikerjakan semua, bukan berarti ditinggalkan semua.”
Perbedaan Prinsip Keduanya:
- “Do it all or not at all”
- Prinsip ini cenderung perfeksionis dan ekstrem.
- Jika seseorang tidak bisa melakukan sesuatu secara sempurna (100%), maka lebih baik tidak usah dilakukan sama sekali.
- Risikonya: Menghambat kemajuan, menyebabkan penundaan, atau kehilangan kesempatan karena takut tidak sempurna.
- Perkataan Imam Ali (as)
- Mengajarkan keseimbangan dan realistis.
- Jika tidak bisa melakukan sesuatu secara penuh, lakukan semampunya (meskipun sebagian).
- Ini sesuai dengan ajaran Islam yang menganjurkan beramal sesuai kemampuan (QS. Al-Taghabun: 16).
Contoh Penerapan:
- Jika seseorang tidak bisa shalat malam setiap hari, bukan berarti ia meninggalkannya sama sekali, tetapi bisa dilakukan sesekali.
- Jika tidak bisa bersedekah dalam jumlah besar, bersedekahlah sekadarnya.
- Jika tidak bisa belajar 10 jam sehari, belajar 1-2 jam tetap lebih baik daripada tidak sama sekali.
Kesimpulan:
Prinsip “do it all or not at all” bisa berbahaya karena membuat orang cenderung menyerah jika tidak mencapai kesempurnaan. Sedangkan nasihat Imam Ali (as) mengajarkan keberlanjutan dan konsistensi, meskipun dalam porsi kecil.
Islam menganjurkan untuk melakukan kebaikan sesuai kemampuan, sebagaimana hadis Nabi (saw):
“Amal yang paling dicintai Allah adalah yang terus-menerus (konsisten) meskipun sedikit.”.
Jadi, lebih baik melakukan sebagian daripada tidak sama sekali, selama niatnya ikhlas dan dilakukan dengan sungguh-sungguh.