Sabtu, September 13

Memperingati Hari Lahirnya Imam Mahdi aj Untuk Mengingat Misi Kehidupan Kita di Dunia

Dalam kesibukan dan di tengah hiruk pikuknya kehidupan dunia, bisa saja dan sangat mungkin sekali kita lupa apa misi dan tujuan utama utama hidup ini; yaitu ibadah, penghambaan secara hakiki. Itulah hikmah dan manfaat adanya amalan ibadah, ritual rutin syariat serta amalan-amalan yang diajarkan oleh Ahlul Bait as, termasuk peringatan-peringatan haul hari syahadah dan wiladah; yakni untuk mengingatkan kita kembali bahwa kita tidak hidup hanya untuk hidup di dunia ini saja, ada misi yang harus kita jalankan hingga akhir hayat nanti. Kita hidup untuk abadi di akhirat, bukan hanya untuk di dunia saja. Kita betul-betul sangat memerlukan “pengingat-pengingat akhirat” di sela-sela kesibukan kita di dunia.

Allah swt berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (QS Adz Dzaariyat : 56)

Taufiq Majelis Dzikir dan Silaturrahmi serta Syukur Atasnya

Berkumpulnya para pengikut Ahlul Bait as dalam sebuah majelis yang di dalamnya disebut dan diingat akan Allah, Rasul dan Aimah adalah hal yang sangat istimewa. Hal istimewa ini tidak mungkin terwujud begitu saja tanpa Taufiq dari Allah swt. Kesempatan silaturrahmi sesama pecinta Ahlul Bait as dalam event-event seperti acara wiladah seperti ini tidak selalu ada. Sudah sepatutnya kita manfaatkan sebaik-baiknya.

Jangankan menghitung apa saja manfaat majelis-majelis dzikir Ahlul Bait as, menghitung maanfaat duduk berkumpulnya para pengikut Ahlul Bait as jika dianggap sebagai silaturrahmi saja, sudah luar biasa. Berikut keutamaan silaturrahmi sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat-riwayat:

  1. Panjang umur,
  2. Tolak bala,
  3. Melapangkan rizki,
  4. Meningkatkan akhlak mulia, saling memahami dan terhindar dari prasangka buruk
  5. Mempermudah hisab di hari kiamat,
  6. Husnul Khotimah,
  7. dan lain sebagainya.

Bukankah hanya dengan memandang wajah saudara seiman saja sudah merupakan ibadah? Imam Sajjad as berkata: “Pandangan seorang mukmin ke wajah saudara seimannya adalah ibadah.” (Tuhaful Uqul, h. 282).

Jelas segala keberhasilan yang kita gapai dalam hidup ini tidak mungkin tergapai begitu saja hanya karena upaya diri kita sendiri tanpa izin Allah. Ini yang disebut Taufiq dari Allah. Keberadaan kita saat ini dalam keadaan memperingati majelis dzikir seperti ini patut disyukuri. Tidak semua orang mendapatkan Taufiq dan kesempatan seperti ini. Karena itu kita seharusnya merasa bangga kita terpilih di antara mereka yang lalai. Semua ini harus disyukuri, meskipun seperti apa banyaknya kita bersyukur kita tidak mampu menunaikan seluruh kewajiban syukur itu, paling tidak begitu kita merasa istimewa karena Taufiq ini, segeralah kita ungkapkan rasa syukur itu.

Kemuliaan Ukhuwah Dalam Ikatan Cinta Ahlul Bait as

Saling mengenal sesama pengikut Ahlul Bait as adalah kemuliaan yang diberikan Allah swt. Dalam Ziarah Asyura kita membaca:

فَاَسْـاَلُ اللّهَ الَّذى اَکْرَمَنى بِمَعْرِفَتِکُمْ وَ مَعْرِفَةِ اَوْلِیائِکُمْ، وَ رَزَقَنِـى الْبَرائَـةِ مِنْ اَعْدائِکُـمْ، اَنْ یَجْعَلَنى مَعَکُمْ فِى الدُّنْیا وَ الاْخِرَةِ

Aku memohon kepada Allah yang telah memuliakan diriku dengan “Taufiq” mengenal kalian, mengenal “auliya” (para pengikut kalian), dan Ia yang telah memberiku “Taufiq” berlepas tangan dari musuh-musuh kalian, (aku mohon kepada-Nya) agar Ia menjadikanku selalu bersama kalian di dunia dan di akhirat.

Dalam doa yang diajarkan Ahlul Bait as di atas, disebutkan bahwa Allah sendiri yang telah memuliakan kita dengan mengenal Ahlul Bait as dan juga mengenal para auwliya’ / sahabat dan pengikut-pengikut mereka.

Namun apakah artinya kita bisa menyombongkan diri dan benar-benar merasa lebih mulia daripada selain kita? Hanya dengan modal “mengenal” Ahlul Bait as dan para pengikut mereka? Jelas tidak. Karena yang berhak mengkategorikan apakah kita termasuk kategori orang-orang yang diberi kemuliaan seperti yang disebut di doa itu hanya Allah; kita hanya bisa berharap. Dengan kata lain, kita berharap semoga kita benar-benar dimuliakan Allah dengan kecintaan terhadap Ahlul Bait as ini. Sedangkan hanya Ia yang tahu apakah harapan kemuliaan kita ini terkabulkan atau tidak. Jangan sampai kita merasa mulia sebagai pecinta Ahlul Bait as padahal ternyata Ahlul Bait as tidak mengakui kita. Naudzubillah.

Pada suatu hari Imam Ja’far Shadiq as bertemu dengan salah satu sahabatnya dan secara mengherankan tiba-tiba berkata,”Wahai fulan, mengapa engkau menghina kami?” Ia terheran dan bertanya, “Kapankah saya pernah menghina Anda? Menyebut nama Anda saja saya selalu berhati-hati. Saya tidak pernah mau menghina Anda.” Imam berkata, “Bukankah kamu, yang waktu itu di Juhfah (di dekat Makkah) di siang hari yang panas berkendara lalu ada saudaramu yang meminta tumpangan namun kau tidak menghiraukannya? Padahal kau tidak ada halangan untuk membantunya…” Beliau melanjutkan, “Bukankah kamu tahu, kalau ada orang yang tidak peduli kepada pengikut Ahlul Bait berarti ia juga tidak peduli kepada Ahlul Bait?” (Raudhah Kafi, h. 147).

Kemuliaan yang disebut dalam doa di atas, adalah kemuliaan hakiki. Artinya dalam kehidupan sosial dan dalam kebersamaan kita sesama para pecinta Ahlul Bait as, tidak ada yang bisa merasa lebih mulia karena alasan apapun. Karena pemberi kemuliaan tersebut hanyalah Allah dan tolak ukur kemuliaan ada di tangan-Nya, yaitu ketakwaan. Sedangkan hanya Allah sendiri yang mengetahui ketakwaan hamba-Nya. Ia bersabda:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat : 13)

Dengan bahasa lain, ungkapan doa di atas bagi kita adalah sebuah bentuk pengharapan, yang berbunyi, “Aku memohon kepada Allah, yang semoga saja telah memuliakanku, dengan cara membuatku mengenal Ahlul Bait dan para pengikutnya.”

Berbicara tentang kebanggaan, teringat perkataan Imam Ali:

إِلَهِی کَفَى لِی عِزّاً أَنْ أَکُونَ لَکَ عَبْداً وَ کَفَى بِی فَخْراً أَنْ تَکُونَ لِی رَبّا

Ya Allah, cukup bagiku kemuliaan untuk menjadi hamba-Mu, dan cukup bagiku kebanggaan bahwa Kau yang jadi Tuhanku. (Khishal Syaikh Shaduq, j. 2 h. 420)

Iman Terhadap Imam Yang Ghaib

Imam Zaman as di antara 12 imam kita, bagi kita sangat spesial dan ada keunikan tersendiri. Karena beliaulah Imam Zaman, yakni hujjah Allah yang ada di zaman kita saat ini namun juga di satu sisi beliau ghaib tak terlihat oleh mata kita.

Umat Islam akhir zaman yang mampu mengkokohkan imannya adalah umat yang hebat. Bagaimana tidak, umat ini diperintahkan untuk mengikuti Hujjah Allah namun di sisi lain Hujjah Allah itu ghaib.

Jika kita berhasil menjadi mukmin sejati dengan artian seperti ini, maka kitalah yang disebut dalam Al-Qur’an:

ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka. (QS Al-Baqarah : 2-3)

Memperingati Wiladah Sebagai Salah Satu Rutinitas Reliji

Untuk apa ada peringatan-peringatan seperti ini? Jelas dari kata “peringatan” itu sendiri, tujuannya adalah agar kita ingat. Ingat akan apa? Ingat akan sebuah garis lurus yaitu jalan kehidupan yang harus kita tempuh, sebuah jalan penghambaan, ibadah, yang selama menempuhnya kita harus selalu ingat akan Allah, Rasul-Nya dan para Aimah as.

Tidak berbeda dengan rutinitas ibadah lainnya seperti shalat sehari-hari. Allah memerintahkan kita melaksanakan shalat untuk memperbarui ingatan, mengingat, dan dzikir. Ia berfirman:

إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي

Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (QS Taahaa : 14)

Aplikasi dari peringatan-peringatan seperti ini adalah agar kita selalu terkalibrasi, tidak melenceng dari jalan yang lurus yang seharusnya kita tempuh. Ya, jalan yang lurus itulah yang disebut Shiratul Mustaqim; jalur pengabdian, penghambaan dan ketulusan hanya untuk Allah semata.

Begitu pentingnya mengingat misi kehidupan yang satu ini, sampai kita diberi rutinitas-rutinitas dzikir. Karena begitu kita melenceng dari jalan yang lurus, tamatlah riwayat kita. Dalam setiap shalat, setiap kali membaca Al-Fatihah kita menyebut ayat ini:

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ

Tunjukilah kami jalan yang lurus, (QS Al-Fatihah : 6)

Ayat di atas mengajarkan kita untuk selalu meminta kepada Allah agar Ia memberikan hidayah dan petunjuknya agar kita bisa melintasi Sirath ini dengan baik.

Dengan adanya sekian banyak kesempatan untuk “ingat”, kalau sampai kita masih saja tetap lupa dan akhirnya melenceng dari jalan yang seharusnya kita menempuh jalur yang lurus, maka celakalah kita. Oleh karena itu Allah berfirman:

رَبَّنَا إِنَّكَ مَنْ تُدْخِلِ النَّارَ فَقَدْ أَخْزَيْتَهُ ۖ
Ya Tuhan kami, sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh telah Engkau hinakan ia (QS Ali Imran : 192)

Yakni, kalau masih saja kita masuk neraka padahal Allah sudah memberikan sekian banyak kesempatan dan peringatan, kita benar-benar celaka!

Antara Ritual Ibadah dan Ibadah Yang Sebenarnya

Mungkin terasa aneh didengar dan dibayangkan, jika rutinitas keagamaan yang kita lakukan ini (yang mana itu semua merupakan ibadah) tujuannya adalah agar kita ingat akan penghambaan (jalan penghambaan atau Sirath Mustaqim). Bagaimana maksudnya Ibadah dengan artian pertama (yakni ritual keagamaan) bertujuan agar kita ingat Ibadah dengan artian kedua (penghambaan hakiki)?

Di sinilah terasa perbedaan antara ritual keagamaan dan penghambaan yang sebenarnya. Adapun ritual, adalah aktifitas fisik peribadatan yang kita sama-sama lakukan sebagai muslim. Namun ibadah yang lebih tinggi dari itu adalah praktek hidup menghamba. Ya, praktek hidup menghamba. Jika dijabarkan, seperti apa sih praktek hidup menghamba yang lebih tinggi dari ritual ibadah yang membuat kita ingat akan ibadah tertinggi itu? Pasti penjabarannya sangat panjang dan lebar. Mungkin jika ingin dirangkum, semuanya bisa dirangkum dalam satu kata “hamba”; artinya, kita hidup ini sebagai hamba, bukan sebagai selain hamba. Kita hamba, dan Ia Tuhan. Implikasi mindset menempatkan diri sebagai hamba dalam kehidupan ini sangat luar biasa, yang mana itulah tujuan kita diciptakan.

Jika sampai terjadi hal ini, kita rajin melakukan ritual dzikir dan ibadah, namun kita masih kacau dalam penghambaan yang sebenarnya, misal kita rajin solat tapi kita juga rajin berdosa, maka perlu kita lakukan penataan ulang dengan cara Tafakkur, introspeksi diri. Kita harus cari tahu mengapa kita hanya mendapatkan kulitnya saja tapi tidak menemukan intinya.

Sirath Mustaqim Ada di Dunia Ini

Jangan sampai kita mengira Shiratul Mustaqim itu di akhirat. Memang benar digambarkan bahwa di hari kiamat nanti kita akan melewati sebuah jembatan lurus dan tipisnya seperti sehelai rambut yang dibelah tujuh. Tapi perlu kita sadari, bahwa bagaimana kita melintasi jembatan tersebut tidak ditentukan di saat itu, tidak bergantung bagaimana kita lihai melintasinya di hari kiamat; karena hari itu bukanlah hari beramal dan berbuat lagi. Bagaimana kita melintas di hari itu hanyalah sebuah cerminan, pantulan dan “playback” akan bagaimana kita melalui jalan kehidupan di dunia ini. Jika di dunia ini kita terjerumus dalam jalan yang berkelok-kelok, jelas kita akan melihat di hari kiamat kita terjatuh dari Shiratul Mustaqim.

Lalu apa wujud Shirat tersebut di kehidupan ini? Jawabnya adalah apa yang telah kita lakukan sebelumnya di masa lalu, saat ini dan di masa depan dalam hidup kita, alias seluruh amal perbuatan kita; apakah semuanya lurus dan sesuai dengan yang diridhai Allah swt atau tidak.

Taat Terhadap Pemimpin Dalam Meniti Jalan Kehidupan

Pasti kita merasa ngeri dan ketakutan rasanya jika kita sadar bahwa setiap perbuatan yang kita lakukan di hidup ini akan menjadi penentu bagaimana kehidupan kita di akhirat nanti. Namun tidak perlu takut seperti itu. Karena atas rahmat-Allah kita sudah diberi pedoman hidup, yaitu Al-Quran dan Ahlul Bait as. Di sinilah kita bisa merasakan apa manfaat “dzikir”, mulai dari ucapan katlimt dzikir sederhana, hingga rutinitas ritual ibadah dan juga majelis-majelis dzikir dan peringatan ini.

Dengan demikian, mari kita benar-benar ingat dengan peringatan yang sesungguhnya akan apa yang seharusnya kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari, dengan acuan Imam Zaman as sebagai pemimpin kita di zaman ini; karena beliaulah Imam kita di zaman ini. Imam yang barang siapa tidak mengenal siapa Imam tersebut lalu mati maka ia mati dalam keadaan jahiliah.

Berbicara tentang rasa takut dan kengerian ini, jangan khawatir, karena kita sudah diajarkan untuk selalu mengimbangkan rasa takut (khauf) dan berharap (raja’). Kita tidak boleh terlalu percaya diri merasa Allah cinta dan berpihak kepada kita, dan kita tidak boleh terlalu pesimis merasa kita adalah pendosa yang sangat dibenci Tuhan. Kita harus imbangkan dua perasaan tersebut.

Hari Gembira Kita Adalah Hari Meratap

Sebagaimana yang disinggung di atas, keadaan umat Islam dan pengikut Ahlul Bait as di akhir zaman ini dengan Imam-nya yang ghaib, adalah keadaan yang unik. Di satu sisi kita dituntut untuk mengikuti sang Imam, namun di sisi lain Imam tersebut ghaib. Meski seperti itu, kita tetap dituntut untuk mengimani Yang Ghaib.

Setiap umat dengan Imam-nya memiliki ujian sesuai kondisinya masing-masing. Di masa Hudhur (masa Imam tidak ghaib) misal di masa Rasulullah, masa Imam Ali as, dan Imam-imam lainnya, semua umat para Imam tersebut memiliki cobaannya masing-masing dalam mentaati Imam mereka.

Adapun kita di zaman ini ujian kita adalah keunikan kondisi umat ini. Kita diuji dengan keadaan ghaibnya sang Imam ini. Kelak di masa Imam Zaman as muncul, umat di zaman itu akan memiliki kondisi ujian yang berbeda. Kelak mereka akan diuji dengan apakah mereka mematuhi Imam yang mereka nantikan atau tidak; betapa banyak kelak mereka yang mengaku penanti sang Imam namun akhirnya mereka membelot dan tidak mau mengakui Imam Zaman aj.

Ya, memang hidup ini selalu sarat ujian dan cobaan; baik sebagai manusia secara individu maupun sebagai umat Islam secara keseluruhan. Allah swt berfirman:

أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ

Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (QS. Al-Ankabut : 2-3)

Atas dasar uniknya keadaan kita, para pecinta Ahlul Bait as yang seperti ini, di satu sisi di hari wiladah sang Imam kita bergembira, namun di satu sisi kita bersedih karena ia tidak terlihat di mata kita. Kesedihan tersebut tertuang dalam bentuk sebuah doa yang kita kenal dengan Doa Nudbah, doa ratapan; doa Syiah sejati yang meratapi keghaiban Imamnya.

Sebagaimana yang kita tahu, waktu-waktu yang dianjurkan untuk membaca doa ini justru adalah hari-hari Ied, hari lebaran, hari bahagia. Kita memiliki empat hari Ied: Iedul Fitri, Iedul Adha, Iedul Ghadir dan Iedul Jum’ah. Kebetulan besok adalah hari Jum’at. Semoga kita tidak melewatkan kesempatan membaca doa Nudbah di hari yang penuh berkah tersebut.

Memohon Keberkahan dan Doa dari Imam Mahdi

Sebagai penutup, mari kita berharap kepada Allah swt, sebagaimana yang kita baca di akhir doa Nudbah: ya Allah, anugerahkan kepada kami keridhaannya (keridhaan Imam Zaman aj). Anugerahkanlah kepada kami kelembutan, kasih-sayangnya, doa Imam Zaman aj, dan kebaikannya.

وَ امْنُنْ عَلَيْنَا بِرِضَاهُ وَ هَبْ لَنَا رَأْفَتَهُ وَ رَحْمَتَهُ وَ دُعَاءَهُ وَ خَيْرَهُ

Demi Imam Zaman aj, semoga Allah juga mau menerima shalat-shalat kita, mengampuni dosa-dosa kita, mengijabah doa-doa kita, meluaskan rizki kita, menghapuskan kesedihan kita dan menunaikan hajat-hajat kita.

وَ اجْعَلْ صَلاتَنَا بِهِ مَقْبُولَةً وَ ذُنُوبَنَا بِهِ مَغْفُورَةً ، وَ دُعَاءَنَا بِهِ مُسْتَجَابا وَ اجْعَلْ أَرْزَاقَنَا بِهِ مَبْسُوطَةً وَ هُمُومَنَا بِهِ مَكْفِيَّةً وَ حَوَائِجَنَا بِهِ مَقْضِيَّةً

Amin Ya Rabbal Alamin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Dukung Kami Dukung Kami