Abstrak
Akal memiliki kedudukan istimewa dalam tradisi fikih Islam, khususnya dalam mazhab Syiah. Berbeda dengan beberapa tradisi fikih lain yang cenderung membatasi peran akal, mazhab Syiah menempatkannya sebagai salah satu sumber hukum utama, sejajar dengan Al-Qur’an, Sunnah, dan ijma. Artikel ini menganalisis perkembangan historis peran akal dalam ushul fiqih Syiah, mulai dari periode awal hingga era kontemporer, serta menyoroti dinamika antara kelompok rasionalis (Usuli) dan tradisionalis (Akhbari). Kajian ini menunjukkan bahwa keberlangsungan relevansi fikih Syiah sangat bergantung pada integrasi harmonis antara akal dan nash syariat, sehingga hukum Islam dapat tetap autentik sekaligus adaptif terhadap perubahan zaman.
Pendahuluan
Dalam ushul fiqih Syiah, akal tidak hanya dipandang sebagai alat bantu memahami nash, melainkan juga sebagai sumber independen yang memiliki hujjah (otoritas) dalam penetapan hukum. Pandangan ini memiliki landasan kuat dalam tradisi para Imam Ahlulbait, yang mendorong pengikutnya untuk menggunakan pemikiran kritis dan analitis dalam memahami syariat. Akan tetapi, sejarah menunjukkan bahwa peran akal mengalami pasang surut, dipengaruhi oleh faktor teologis, politik, dan sosial.
Landasan Teologis Penggunaan Akal dalam Fikih Syiah
Pandangan Para Imam
- Imam Ja‘far Shadiq menegaskan bahwa kefaqihan sejati tidak cukup dengan hafalan riwayat, tetapi memerlukan pemahaman mendalam dan kemampuan menafsirkan hadis sesuai konteks.
- Imam Muhammad al-Baqir mengajarkan bahwa fatwa yang tepat harus didasarkan pada analisis rasional terhadap ajaran para Imam, sebagaimana dinasihatkannya kepada Aban bin Taghlib.
- Nabi Muhammad Saw. melalui dialognya dengan Mu‘adz bin Jabal memberikan legitimasi penggunaan akal ketika Al-Qur’an dan Sunnah tidak secara eksplisit menjawab suatu permasalahan.
Sejarah Fluktuasi Peran Akal dalam Fikih Syiah
Dominasi Akhbarisme
Pada awal masa kegaiban Imam Mahdi (ghaybah), kecenderungan Akhbarisme mengedepankan riwayat tunggal (khabar ahad) tanpa analisis rasional. Hal ini menghambat perkembangan metodologi ijtihad dan menyebabkan stagnasi hukum, terutama pada abad ke-3, 11, dan 12 Hijriah.
Kebangkitan Rasionalisme
Tokoh seperti Ibn Abi Aqil dan Ibn Junaid Iskafi pada abad ke-4 H membuka ruang bagi ijtihad berbasis akal. Meskipun awalnya mendapat tentangan, pemikiran mereka mendapat legitimasi lebih luas berkat kontribusi Ibn Idris, Allamah Hilli, dan Syahid Tsani.
Perkembangan Ushul Fikih Klasik
- Syaikh Mufid memerangi dogmatisme ahli hadis dan menegaskan bahwa akal harus digunakan dalam memahami nash.
- Sayyid Murtadha menolak otoritas hadis tunggal dan menuntut analisis rasional yang lebih ketat.
- Allamah Hilli untuk pertama kalinya secara eksplisit menempatkan akal sebagai sumber hukum keempat.
Kebangkitan Modern
Dominasi Akhbarisme yang dipelopori Mulla Amin Astarabadi kembali melemah setelah perjuangan Wahid Behbahani yang membina generasi Usuli baru. Mirza Qummi membedakan antara akal independen (mustaqillat ‘aqliyah) dan akal tidak independen, sementara Syaikh Anshari menegaskan otoritas akal yang setara dengan nash dalam kondisi tertentu.
Akal dalam Ushul Fikih Kontemporer
Pemikiran Murtadha Mutahhari
Mutahhari memandang Islam sebagai agama yang membangun hubungan organik antara akal dan syariat. Menurutnya:
- Akal dapat menemukan hukum baru yang belum diatur secara eksplisit dalam nash.
- Akal dapat membatasi atau menggeneralisasi hukum yang ada sesuai maslahat.
- Stagnasi fikih terjadi ketika akal diabaikan, memunculkan bahaya literalisme dan dogmatisme.
Mutahhari menekankan bahwa penggunaan akal harus disertai metode ilmiah yang ketat, agar tidak terjebak pada subjektivitas atau selera pribadi.
Analisis Ushuliyah
Dalam kerangka ushul fiqih Syiah, akal memiliki dua fungsi utama:
- Fungsi independen – mampu menentukan hukum secara mandiri dalam masalah-masalah yang jelas secara rasional, seperti keadilan dan kezaliman.
- Fungsi dependan – digunakan untuk memahami dan menginterpretasi nash, terutama ketika nash bersifat umum, mutlak, atau ambigu.
Integrasi ini memastikan bahwa hukum Islam tetap bersifat qat‘i (pasti) dalam prinsip, namun dzanni (fleksibel) dalam penerapan teknis sesuai tuntutan zaman.
Kesimpulan
Sejarah fikih Syiah menunjukkan bahwa keberhasilan atau stagnasi hukum Islam sangat dipengaruhi oleh posisi akal dalam proses ijtihad. Periode-periode kemajuan selalu beriringan dengan kebangkitan rasionalisme Usuli, sedangkan kemunduran sering terkait dengan dominasi Akhbarisme yang menolak peran akal.
Dalam pandangan Syiah, akal adalah sumber hukum yang sahih, bukan sekadar alat bantu. Keberlanjutan relevansi fikih bergantung pada kemampuan para faqih untuk menjaga keseimbangan antara otoritas nash dan potensi rasional, sehingga hukum Islam dapat terus menjawab kebutuhan manusia di berbagai zaman tanpa kehilangan akar autentisitasnya.
Daftar Pustaka
- Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, jil. 1, hlm. 118; jil. 2, hlm. 310.
- Abi Jumhur al-Ahsa’i, Awali al-La’ali, jil. 1, hlm. 414.
- Al-Najasyi, Rijal Najasyi, jil. 1, hlm. 10.
- Murtadha Mutahhari, Islam dan Kebutuhan Zaman.
- Murtadha Mutahhari, Pengenalan Ilmu-Ilmu Islam.
[wikifeqh]