Selasa, Juli 1

Sejarah Hauzah Ilmiah di kalangan Syiah Imamiah

Artikel ini membahas tentang hauzah ilmiah (pusat pendidikan keagamaan), yang merupakan istilah modern untuk organisasi, institusi, dan pusat-pusat pendidikan keilmuan agama yang sistematis di kalangan Syiah Imamiyah. Sejarah hauzah ilmiah Syiah dapat dikategorikan secara historis, karena di setiap periode, satu atau dua pusat populasi Syiah menjadi inti tradisi pendidikan, sementara pusat-pusat lain berfungsi sebagai cabang atau pendukung.

Tujuan sistem pendidikan hauzah adalah untuk mentransfer ilmu-ilmu agama dan melatih ulama di berbagai tingkatan. Fokus utamanya adalah pembahasan dan penelitian materi keagamaan (Al-Qur’an, tafsir, hadis, kalam, fikih, akhlak) serta ilmu-ilmu terkait (sastra, sejarah, rijal, filsafat), dan terkadang ilmu-ilmu umum dalam peradaban Islam (kedokteran, astronomi, matematika, irfan). Tradisi dakwah untuk umum dan penanganan urusan keagamaan masyarakat tidak termasuk dalam lingkup kajian sistem pendidikan hauzah ini, meskipun aktivitas tersebut merupakan hasil dari pendidikan hauzah dan seringkali terkait dengannya.


Gambaran Umum (Kulliyat)

Bagian ini membahas aspek-aspek umum dan bersama dari hauzah ilmiah:

  • Sistem Pendidikan Syiah: Berpusat pada hubungan guru-murid, seringkali dengan teks pengajaran dan metode seperti pengajaran lisan, imla (dikte), sama’ (mendengar), muzakarah (diskusi), qira’ah (membaca), dan kitabah (menulis). Sistem ini sangat dipengaruhi oleh metode pengajaran para Imam Syiah kepada sahabat dan murid-murid mereka, terutama setelah peristiwa Karbala. Para Imam membentuk majelis-majelis pelajaran untuk menyampaikan ajaran agama, yang seringkali mengkritik ajaran pemerintah yang berkuasa atau menawarkan alternatif. Murid-murid mencatat atau menghafal ajaran ini dan menyebarkannya. Imam-imam juga mengajarkan metode pemahaman Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, serta mendorong diskusi dan penalaran di kalangan murid yang berbakat. Mereka bahkan mendorong murid-muridnya untuk membentuk majelis pelajaran dan meminta Syiah di kota-kota lain untuk belajar dari mereka. Sistem pendidikan ini berkembang sebagai cara untuk melindungi ajaran agama dari tekanan politik Abbasiyah dan memastikan akses cepat terhadap ilmu.
  • Pendirian Hauzah: Pendirian hauzah di suatu wilayah seringkali disebabkan oleh satu atau beberapa faktor. Misalnya, Hauzah Qom berkembang pesat setelah migrasi paksa suku Asy’ariyah Yaman dari Kufah ke Qom karena penganiayaan penguasa Umayyah. Qom, yang jauh dari pusat kekhalifahan dan berdekatan dengan Karaj Abud Dulaf yang dikuasai Syiah, menjadi tempat yang relatif aman bagi Syiah. Banyak ulama dari Kufah, pusat pengajaran Imam Syiah, memindahkan warisan ilmiah mereka ke Qom. Ibrahim bin Hasyim Kufi disebut sebagai orang pertama yang membawa hadis ulama Kufah ke Qom.Di Baghdad dan Ray, situasinya berbeda. Syiah sudah hadir di Baghdad sejak awal pendiriannya, dan kehadiran mereka meningkat setelah Imam kesepuluh, Ali bin Muhammad al-Hadi, dipindahkan ke Samarra. Dukungan Dinasti Buwaihi (abad ke-4 hingga awal abad ke-5 H) terhadap ulama Syiah sangat membantu, menarik para fuqaha, mutakallim, dan muhaddits Syiah terkemuka ke Baghdad. Bahkan beberapa syekh dari Qom dan Ray, seperti Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub al-Kulaini, bermigrasi ke Baghdad. Kemajuan hauzah Ray juga berkat pemerintahan Ruknuddaulah dan menterinya, Shahib bin Abbad, yang menyelenggarakan majelis-majelis ilmiah.Faktor terpenting dalam pendirian dan keberlangsungan hauzah adalah keberadaan ulama besar dan penyelenggaraan majelis pelajaran oleh mereka. Hauzah Najaf dimulai dengan kepindahan Syekh Thusi dari Baghdad ke makam Amirul Mukminin Ali. Meskipun ada bukti lingkaran pengajaran sebelum Syekh Thusi, kehadirannya, sebagai ulama Syiah terbesar pada masanya, menarik Syiah dari berbagai wilayah untuk membentuk hauzah tertua dan paling berpengaruh. Hauzah Hillah dan Jabal Amel juga berkembang dengan cara yang sama. Bahkan kehadiran seorang ulama kelas satu terkadang membuat suatu kota menjadi hauzah yang ramai dalam waktu singkat, seperti Borujerd di masa Mulla Asadullah Borujerdi.Makam-makam Imam Syiah dan beberapa Imamzadeh juga seringkali menjadi pusat hauzah karena menjadi tempat tinggal dan berkumpulnya Syiah. Namun, Madinah adalah pengecualian karena dominasi pemerintah yang berafiliasi dengan kekhalifahan.Pusat politik kota-kota di masa pemerintahan Syiah juga berkontribusi pada pembentukan hauzah, seperti di Isfahan, Tehran, dan Qazvin. Raja-raja Safawi dan Qajar yang mengundang ulama-ulama besar turut berperan dalam kemajuan hauzah-hauzah ini.Sebaliknya, kemunduran atau penutupan hauzah dapat terjadi karena hilangnya ulama besar, kurangnya pelajar yang antusias, atau berpindahnya ulama besar ke kota lain. Contohnya adalah kepindahan Mirzā Abū al-Qāsim Qomī dari Borujerd ke Qom, atau kepindahan ulama Jabal Amel ke Iran karena penindasan Utsmani dan dukungan Safawi. Peristiwa alam atau tekanan politik dan budaya juga dapat menyebabkan kemunduran, seperti serangan Mahmud Afghan ke Isfahan atau kebijakan pemerintah Pahlavi pertama yang membatasi kegiatan ulama, yang sangat merugikan hauzah Tehran. Hauzah Najaf juga mengalami kemunduran karena kebijakan pemerintah Ba’ath yang membatasi ulama.
  • Fokus Studi Hauzah: Hauzah ilmiah lebih dari segalanya bertanggung jawab atas pendidikan, penyebaran, dan penjelasan pengetahuan agama, terutama yang berkaitan erat dengan umat. Oleh karena itu, dua sumber utama pengetahuan agama, Al-Qur’an dan Hadis, menjadi subjek sentral pendidikan.
    • Studi Al-Qur’an umumnya dalam bentuk tafsir dan kajian tematik atau kasus (misalnya, ayat-ayat tentang kemaksuman Nabi dalam pembahasan kalam atau ayat-ayat hukum dalam fikih), dengan berbagai pendekatan (sastra, kalam, rasional, dll.).
    • Hadis mendapat perhatian lebih besar karena memperluas dan merinci isyarat-isyarat Al-Qur’an, menafsirkan maksud ayat-ayat, dan mengandung banyak pernyataan agama, terutama di bidang hukum. Pembahasan seputar hadis, seperti riwayat perawi, sahabat Imam, penulis kitab, dan keabsahan teks hadis, membutuhkan investigasi rijal, studi naskah, dan analisis konten yang serius. Oleh karena itu, sebagian besar diskusi di hauzah-hauzah kuno didedikasikan untuk hadis.
    Seiring waktu, setelah kodifikasi sumber-sumber hadis yang paling penting dan pelembagaan sistem fikih istinbathi, kitab-kitab fikih dan ushul fikih menjadi inti pengajaran hauzah. Demikian pula, kitab-kitab kalam menjadi fokus pengajaran dalam pembahasan teoretis. Ilmu-ilmu lain juga diajarkan berdasarkan kontribusinya pada pengetahuan agama, di samping fikih yang merupakan subjek pengajaran utama: sastra Arab sebagai pengantar yang diperlukan untuk pendidikan agama, kalam, tafsir, dan rijal. Belakangan, filsafat juga diajarkan kepada mereka yang berminat, dan dalam beberapa dekade terakhir, pengajaran teks-teks filosofis menjadi lebih penting. Di beberapa hauzah (misalnya Isfahan dan Tehran), matematika, astronomi, dan kedokteran juga diajarkan. Demikian pula, teks-teks irfan (mistisisme) teoretis diajarkan di hauzah Isfahan dan Tehran untuk kelompok terbatas. Mata pelajaran sampingan juga diajarkan oleh beberapa ulama dan guru kepada siswa yang berminat, seringkali pada hari libur (Kamis dan Jumat), seperti kritik terhadap filosofi dan mazhab modern, pengenalan agama dan sekte, sejarah, dan penjelasan kitab-kitab hadis.
  • Pelajaran Akhlak: Merupakan salah satu pelajaran sampingan yang paling populer, diselenggarakan oleh beberapa guru dan tokoh terkemuka hauzah. Tujuannya adalah untuk menjelaskan konsep-konsep akhlak yang dikenal dalam Al-Qur’an, hadis, dan teks-teks hikmah praktis, serta memperkenalkan dan membiasakan siswa dengan sifat-sifat akhlak dan adat istiadat yang berkaitan dengan ulama (disebut sebagai “ziyy-e talabagi” atau “gaya hidup santri”). Beberapa poin utama dalam pelajaran ini meliputi penekanan pada perilaku individu dan sosial, komitmen spiritual, mengingat kematian dan hari kiamat, ketekunan dalam belajar, keikhlasan niat, dan keyakinan akan keharusan dan kewajiban untuk melanjutkan pendidikan ini meskipun ada kesulitan keuangan atau sosial. Pelajaran ini juga menekankan hubungan spiritual dengan Imam Mahdi, yang mana semua ulama dan fuqaha Syiah menganggap diri mereka sebagai pelayan-Nya.
  • Sistem Pengajaran Berbasis Teks: Sistem pendidikan hauzah selalu berpusat pada teks. Langkah pertama bagi seorang siswa adalah memperoleh kemampuan untuk memahami teks dengan benar. Kurikulum dasar dan tingkat menengah dirancang dengan fokus pada teks-teks tertentu, dan banyak komentar yang ditulis untuk buku-buku pelajaran menunjukkan perhatian hauzah terhadap teks-teks ini. Teks-teks ini ditulis oleh guru-guru terkemuka hauzah dan seringkali memiliki kompleksitas dan kesulitan yang dijelaskan oleh guru selama pelajaran. Kemampuan guru diukur dari penjelasan dan penyelesaian ambiguitas dan kesulitan ini, dan kemampuan siswa diukur dari kemampuannya menjelaskan teks-teks ini. Bahkan terkadang, sebagian dari pelajaran kharej (tingkat tinggi) fikih dan ushul fikih didedikasikan untuk menjelaskan poin-poin dari teks-teks ini. Diharapkan bahwa setelah menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah, siswa akan memahami pencapaian ilmiah hauzah hingga saat itu, dan kemudian, dengan berpartisipasi dalam pelajaran ijtihadi dari guru-guru ahli (disebut sebagai kharej), mereka akan memahami pandangan guru-guru ini dan kritik terhadap ulama-ulama sebelumnya, serta menguji kemampuan mereka sendiri untuk mengkritik dan menolak pandangan ulama. Pelajaran kharej pada dasarnya adalah periode penelitian ijtihadi.Salah satu fitur terpenting dari sistem pendidikan ini adalah pencegahan kesalahpahaman dan, akibatnya, perlindungan dari pernyataan yang salah, serta kerendahan hati ilmiah dan menahan diri dari komentar yang terburu-buru dan tidak dipertimbangkan. Selain itu, semua peserta dalam sistem pendidikan hauzah, dalam setiap pelajaran, mendiskusikan materi guru dengan satu atau dua orang, yang sangat efektif untuk mencapai pemahaman yang benar. Tradisi diskusi ini berlanjut hingga tingkat pelajaran kharej, dan setelah itu, terkadang sesi diskusi ilmiah ijtihadi diadakan antara individu-individu terkemuka dari satu generasi yang telah mencapai tingkat guru dan ijtihad. Selain itu, tradisi hauzah ilmiah adalah bahwa lulusan hauzah, setelah mencapai tingkat ijtihad yang tinggi, meskipun mereka sendiri memiliki lingkaran pelajaran, akan menghadiri satu atau dua pelajaran marja’ pada masanya, untuk menghormati posisi mereka dan berpartisipasi secara serius dalam diskusi ilmiah tingkat tinggi.
  • Administrasi Hauzah: Setiap hauzah umumnya berada di bawah pengawasan otoritas ilmiah tertinggi hauzah tersebut, yang terkadang dipegang oleh satu orang atau beberapa orang (misalnya, beberapa mujtahid dan marja’ taklid yang setara). Manajemen hauzah mencakup urusan umum dan meliputi: penanganan masalah siswa (tempat tinggal, biaya pendidikan bulanan yang dikenal sebagai syahriyah, fasilitas dan kebutuhan pendidikan seperti perpustakaan, masalah administrasi seperti wajib militer), pengawasan penyelenggaraan pelajaran untuk berbagai tingkatan dan penanganan khusus untuk guru jika diperlukan, mengundang guru dari negara lain untuk memperkuat hauzah, pengawasan urusan umum hauzah serta perilaku sosial dan etika siswa dan hubungan mereka dengan masyarakat, pengaturan hubungan hauzah dengan pejabat resmi sesuai dengan kondisi yang berbeda, membuat pernyataan dan mengambil posisi serta partisipasi kasus per kasus dalam urusan sosial dan politik.Direktur atau direktur hauzah umumnya mengelola keuangan hauzah dengan dana syar’i yang dibayarkan oleh masyarakat langsung atau melalui wakil dan individu yang diizinkan oleh marja’ atau melalui ulama. Terkadang, dana sumbangan dari orang-orang dermawan atau pendapatan dari beberapa wakaf juga digunakan untuk tujuan ini. Saat ini, tradisi ini terus berlanjut, dan pembiayaan hauzah menjadi tanggung jawab marja’ taklid.Para guru memutuskan untuk memulai pelajaran tertentu dan, berdasarkan rujukan dan permintaan siswa, mengumumkan pelajaran dan waktu pelaksanaannya. Syarat utama untuk mengajar adalah kemampuan dan penerimaan ilmiah, dan karena siswa bebas memilih pelajaran, syarat ini secara otomatis terpenuhi. Ruang kelas juga disediakan di tempat-tempat umum (seperti masjid, serambi haram Imam dan Imamzadeh, makam ulama, ruang kelas sekolah), dan jika diperlukan, izin diperoleh dari penanggung jawab tempat tersebut. Beberapa guru juga mengajar di rumah. Jadwal pelajaran kharej para fuqaha dan marja’ diatur sedemikian rupa agar tidak terjadi bentrokan. Hari libur ditentukan berdasarkan jadwal pelajaran guru-guru utama hauzah, biasanya hari Kamis dan Jumat. Pelajaran juga diliburkan pada beberapa acara (kematian, hari raya). Selain itu, setiap tahun ada dua atau tiga libur panjang di bulan Ramadhan, paruh pertama Muharram, dan paruh kedua Safar agar siswa dapat pergi berdakwah dan berkhutbah ke berbagai daerah. Sebagian atau seluruh musim panas juga biasanya diliburkan di hauzah. Selama waktu ini, beberapa orang yang tidak melakukan perjalanan dakwah biasanya melakukan kegiatan ilmiah (mengajar, menulis, dll.) untuk diri mereka sendiri. Sistem dan tradisi manajemen hauzah, kecuali dalam beberapa detail, tidak mengalami perubahan mendasar.
  • Pendidikan Dakwah: Salah satu kegiatan di hari libur di beberapa hauzah adalah mengadakan sesi mingguan untuk pendidikan khotbah dan pidato, karena salah satu tujuan penting pendidikan hauzah adalah mempersiapkan lulusan untuk berdakwah dan membimbing masyarakat. Dalam sesi ini, beberapa veteran dakwah biasanya hadir, dan siswa muda, dengan menyampaikan pidato di hadapan publik, belajar dari pengalaman mereka, menguji kemampuan mereka, mengidentifikasi kekurangan, dan mengatasinya. Selain itu, jenis topik yang cocok untuk pidato publik, yang dapat meningkatkan pengetahuan umum dalam bidang pengetahuan agama dan memperhatikan tuntutan zaman, juga dibahas secara alami dalam sesi ini. Para veteran undangan juga menyampaikan topik dengan metode khotbah, yang memiliki aspek konten dan aspek peningkatan keterampilan dan pengalaman.
  • Hierarki Hauzah: Di sebagian besar kota-kota Syiah, di mana para ulama dan lulusan hauzah besar Syiah hadir untuk bimbingan dan kepemimpinan agama, tradisi pendidikan hauzah terbentuk berdasarkan posisi ilmiah individu-individu ini, lokasi kota, dan minat masyarakat. Biasanya, sejumlah keluarga dan individu menunjukkan minat untuk memasuki jalur pendidikan dan pembelajaran agama. Ini adalah titik awal pembentukan hauzah di kota tersebut. Lulusan tradisi dan sistem pendidikan ini, yang seringkali terkait dengan hauzah-hauzah besar, akan pergi ke hauzah yang lebih besar jika mereka ingin melanjutkan studi. Misalnya, di Iran pada era Safawi, Isfahan adalah hauzah yang paling terkemuka, dan siswa dari berbagai wilayah (Bahrain, Shiraz, Khuzestan, Lahijan, Qazvin, Kashan, dan Khvansar) pergi ke kota ini. Terkadang, perjalanan ilmiah ini berlangsung dalam dua tingkat: pertama dari hauzah kecil ke hauzah yang lebih besar, dan dari sana ke hauzah rujukan. Misalnya, pada era Qajar, siswa dari kota-kota Mazandaran pergi ke Tehran untuk belajar dan kemudian dari sana ke Isfahan. Beberapa juga pergi ke Najaf setelah belajar di Isfahan, seperti siswa dari kota-kota di wilayah Kaukasus awalnya pergi ke Tabriz atau Zanjan dan dari sana pindah ke Tehran dan kemudian Najaf. Pergerakan antara kota-kota Syiah di India di satu sisi dan Najaf dan Isfahan di sisi lain juga telah ada sejak lama. Dalam beberapa dekade terakhir, dengan pertumbuhan dan peningkatan posisi hauzah ilmiah Qom, selain lulusan hauzah di kota-kota Iran, siswa dari hauzah-hauzah di India, Pakistan, Lebanon, Bahrain, dan banyak kota yang memiliki hauzah pergi ke kota ini untuk melanjutkan studi di tingkat tinggi. Faktanya, semacam peringkat hauzah, bersama dengan hubungan timbal balik antara hauzah utama dan hauzah cabang, telah ada sejak awal hingga sekarang.

Hauzah Ilmiah Qom: Awal hingga Abad Keempat

  • Sejarah Awal dan Perkembangan: Usia Hauzah Ilmiah Qom yang sangat tua adalah hasil dari lamanya keberadaan mazhab Syiah di kota ini, yang terkait erat dengan migrasi suku Asy’ariyah dari Kufah ke Qom. Penyebaran dan peningkatan migrasi Asy’ariyah Syiah pada abad kedua dengan cepat menjadikan Qom salah satu kota Muslim Syiah. Penelusuran biografi para muhaddits dan ulama Syiah yang tinggal di Qom pada abad kedua, atau bahkan pertama, menunjukkan perkembangan hauzah ilmiah Syiah di kota ini sejak dekade pertama abad kedua Hijriyah. Dari 91 ulama dan muhaddits dari keluarga Asy’ari di Qom antara abad pertama dan keempat, 33 di antaranya hidup pada abad kedua, menunjukkan bahwa hauzah Qom sudah sangat aktif sejak akhir abad pertama dan sepanjang abad kedua.Beberapa ulama terkemuka dari periode awal ini termasuk Abu Bakar bin Abdullah bin Sa’d bin Malik bin Amr al-Asy’ari, seorang muhaddits dan sahabat Imam Ja’far ash-Shadiq, dari keturunannya banyak ulama muncul. Sebelas anak Abdullah bin Sa’d al-Asy’ari juga merupakan perawi dan muhaddits abad kedua Hijriyah, seperti Musa bin Abdullah bin Sa’d al-Asy’ari, perintis dakwah Syiah di Qom. Abdul Aziz bin Muhtadi bin Muhammad adalah ulama Asy’ari lainnya di abad kedua, yang menjadi wakil Imam Ridha dan namanya muncul dalam setidaknya enam belas hadis dalam kitab-kitab empat hadis Syiah.Jumlah ulama Syiah terus meningkat di abad ketiga. Selain keluarga Asy’ari, keluarga terpelajar lainnya seperti Barqi, Himyari, Ibrahim bin Hasyim Qomi, Ibn Muttayl, dan Ibn Babawaih juga berkontribusi pada pesatnya perkembangan hauzah Qom dari abad ketiga dan seterusnya. Yang paling terkenal dari keluarga Barqi adalah Ahmad bin Muhammad. Yang paling terkenal dari keluarga Himyari adalah Abul Abbas Abdullah bin Ja’far al-Himyari, seorang perawi Imam al-Hadi dan Imam al-Askari.Abu Ishaq Ibrahim bin Hasyim Qomi adalah leluhur sebuah keluarga ilmiah di hauzah Qom, yang berasal dari Kufah dan menjadi pelopor ilmu hadis di Qom. Putranya, Ali bin Ibrahim Qomi, adalah muhaddits dan mufassir yang sangat terkenal. Keluarga Muttayl Qomi juga merupakan muhaddits terkemuka. Namun, keluarga yang paling terkenal di hauzah Qom dan kemudian Ray adalah keluarga Ibn Babawaih. Abu al-Hasan Ali bin Husain bin Musa bin Babawaih Qomi, seorang muhaddits besar, disebut sebagai Syekh dan Faqih Qom. Putranya, Abu Ja’far Muhammad bin Ali, yang dikenal sebagai Syekh Shaduq dan Ibn Babawaih, adalah anggota keluarga ilmiah yang paling terkenal. Kitab Man La Yahduruhu al-Faqih, salah satu dari empat kitab hadis-fikih Syiah, adalah karyanya. Syekh Shaduq dapat dianggap sebagai simbol dan tokoh paling menonjol dari hauzah Qom dan kemudian Ray (setelah ia bermigrasi ke sana pada tahun 339 H). Reputasi Syekh Shaduq di hauzah Qom dan Ray sebanding dengan reputasi Syekh Thusi di hauzah Baghdad.Selain keluarga-keluarga yang terpelajar ini, yang semakin menambah kemajuan hauzah Qom adalah kehadiran banyak Alawiyin dan Sadat di kota ini. Alawiyin berkontribusi pada kemajuan hauzah ini melalui dua cara: Pertama, banyak ulama muncul dari kalangan mereka sepanjang sejarah hauzah Qom. Kedua, makam-makam mereka, yang sangat dihormati oleh masyarakat, tidak hanya memberikan kesucian bagi Qom tetapi juga menjadi pusat pengajaran ilmu-ilmu agama sesuai dengan ajaran Imam Syiah. Paling utama di antara Alawiyin Qom adalah saudari Imam Ridha, Sayyidah Fatimah Ma’sumah, yang wafat di Qom pada tahun 202 H. Makamnya saat ini menjadi situs ziarah terbesar kedua di Iran dan salah satu faktor utama kemajuan hauzah ilmiah kota ini.Penulis Tarikh Qom (halaman 18) menyebutkan 266 ulama Syiah terkenal di kota ini dari awal hingga abad keempat, dan 14 ulama Sunni. Minat terhadap ilmu-ilmu agama, khususnya ilmu hadis, di Qom begitu besar sehingga Muhammad Taqi Majlisi (Jilid 1, halaman 477) menyatakan bahwa ia pernah membaca dalam sebuah kitab bahwa pada masa Syekh Shaduq (abad keempat), lebih dari 200.000 muhaddits tinggal di Qom. Majlisi menganggap angka yang sangat tinggi ini dapat dipercaya karena di Qom, baik orang awam maupun khusus, semua berusaha untuk menghafal hadis. Angka ini bagaimanapun menunjukkan minat umum penduduk Qom terhadap ilmu hadis.Keunggulan dan karakteristik hauzah Qom yang disebutkan di atas—yaitu, usia hauzah, banyaknya keluarga ilmiah, dan kehadiran Alawiyin yang meluas—sama sekali tidak sebanding dengan keunggulan utama dan sangat penting yang memberikan kredibilitas hauzah ini, yaitu hubungan dekat dengan Imam Ma’sumin. Hubungan ini terwujud dalam bentuk korespondensi dan juga perjalanan ulama Qom ke Irak, Hijaz, dan Khorasan. Dalam daftar yang disebutkan sebelumnya oleh Muhajir (halaman 192-195), dari 91 ulama dan muhaddits Asy’ari Qom, 46 di antaranya memiliki hubungan dan bertemu dengan satu atau lebih Imam Ma’sumin. Jumlah sahabat Imam dari Qom, termasuk ulama non-Asy’ari, bahkan lebih tinggi dari angka ini. Hubungan ini semakin meningkatkan kredibilitas hauzah Qom dan menjadikannya sebagai rujukan dan standar dalam ilmu-ilmu Islam. Menurut Syekh Thusi (1417, halaman 390; dan dinukil oleh Muhammad Baqir Majlisi, Jilid 51, halaman 359), Husain bin Ruh, naib khusus ketiga Imam Mahdi, pernah mengirimkan sebuah kitab fikih (Kitab al-Ta’dib) ke Qom agar para fuqaha di sana memberikan pendapat mereka tentang keabsahan isinya.
  • Ilmu dan Kitab-kitab: Berdasarkan berbagai sumber, dapat dipahami bahwa di hauzah Qom hampir semua cabang ilmu agama dan pendahuluannya diajarkan—tentu saja, mengingat tahap awal beberapa ilmu tersebut. Abu Ja’far Barqi (wafat 274 atau 280) ahli dalam ilmu sastra dan balaghah. Ia menulis dua kitab dalam bidang ini berjudul al-Syi’r wa al-Syu’ara’ dan al-Nahw. Salah satu muridnya, Abu Abdullah Muhammad bin Ubaidillah (Abdullah) yang bergelar Majiluyah, juga seorang faqih yang sastrawan. Guru terkemuka lainnya dalam ilmu sastra di hauzah Qom adalah Abu Ali Ahmad bin Ismail yang bergelar Samakah. Ia memiliki beberapa kitab yang disebut Najashi (Jilid 1, halaman 246) sebagai tak tertandingi.Ilmu-ilmu Al-Qur’an juga menjadi perhatian hauzah Qom. Abu Thalib Abdullah bin Shalt Qomi, seorang perawi Imam Ridha, menulis sebuah kitab tentang tafsir Al-Qur’an. Abu Abdullah Barqi memiliki kitab tafsir berjudul Kitab al-Tanzil wa al-Ta’bir, dan juga kitab lain berjudul al-Tafsir. Saudaranya, Hasan bin Khalid, juga memiliki kitab tafsir dalam 120 jilid yang didiktekan oleh Imam Hasan Askari. Muhammad bin Hasan Shaffar (wafat 290), seorang muhaddits terkemuka Qom dan penulis banyak kitab fikih, memiliki kitab tentang Al-Qur’an berjudul Fadl al-Qur’an. Abu al-Qasim Sa’d bin Abdullah al-Asy’ari Qomi, syekh dan faqih keluarga Asy’ari, menulis kitab tentang hal ini berjudul Nasikh al-Qur’an wa Mansukhuhu wa Muhkamuhu wa Mutasyabihuhu. Pada periode yang sama, Tafsir Ali bin Ibrahim bin Hasyim Qomi (hidup pada 307) ditulis, yang menjadi dasar bagi banyak tafsir ma’tsur berikutnya.Topik lain yang ditulis dan diajarkan di hauzah Qom pada masa lalu adalah masalah akidah dan kalam, dengan pembahasan seputar ghaibah Imam ke-12 dan Imamah sebagai titik sentral. Contohnya adalah kitab al-Jabr wa al-Tafwid dan Kitab ma Yaf’al al-Nas Hina Yafqudun al-Imam (tentang kewajiban orang beriman ketika kehilangan Imam).

Referensi: https://rch.ac.ir/article/Details/8192

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *