Pertanyaan:
Dalam Surah An-Nisa ayat 3, pernikahan dengan 4 wanita diizinkan, sedangkan dalam Surah An-Nisa ayat 129 disebutkan: “Kamu tidak akan mampu berlaku adil di antara istri-istrimu.” Apakah kedua ayat ini bertentangan?
Jawaban:
Kita tahu bahwa Allah Yang Maha Tinggi telah menurunkan Al-Qur’an yang mulia ini kepada Rasul-Nya (shallallahu ‘alaihi wa sallam) sebagai wahyu. Mukjizat Ilahi ini adalah firman Allah yang terbebas dari segala kontradiksi, pertentangan, dan ketidakkonsistenan—berbeda dengan kitab-kitab buatan manusia yang seringkali mengandung kontradiksi. Terkadang, di awal kitab tersebut suatu hal dinyatakan benar, tetapi di akhir kitab hal yang sama dibatalkan. Namun, Al-Qur’an adalah satu-satunya kitab yang bebas dari cacat seperti itu. Allah berfirman:
“Maka tidakkah mereka menghayati Al-Qur’an? Sekiranya (Al-Qur’an) itu bukan dari Allah, pastilah mereka menemukan banyak pertentangan di dalamnya.” (QS. An-Nisa: 82)
Penjelasan Ayat 3 Surah An-Nisa:
Dalam kelanjutan ayat 3 Surah An-Nisa, Allah berfirman:
“Dan jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil (terhadap anak-anak yatim), maka nikahilah wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil (dalam memberikan hak-hak mereka), maka (nikahilah) seorang saja atau budak-budak perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk tidak berbuat zalim.”
Ayat ini menjelaskan hukum tentang memilih pasangan. Allah mengizinkan laki-laki Muslim untuk menikahi dua, tiga, atau empat wanita dengan syarat mampu berbuat adil. Jika tidak mampu, maka cukup dengan satu istri atau memilih budak perempuan yang dimiliki (karena syarat pernikahan dengan budak lebih ringan dibandingkan wanita merdeka).
Pertanyaan Penting: Apa yang dimaksud dengan “keadilan” dalam ayat ini?
Setelah disyariatkannya poligami dalam Islam, setiap istri memiliki hak-hak tertentu yang dijelaskan secara rinci dalam kitab-kitab fikih. Keadilan yang dimaksud terutama berkaitan dengan aspek kehidupan sehari-hari, seperti hak nafkah, perlakuan yang setara, dan pemenuhan kebutuhan hidup. Jika seseorang tidak mampu memenuhi keadilan dalam hal ini, maka ia harus membatasi diri pada satu istri. Keadilan seperti ini masih dalam batas kemampuan manusia, sehingga itulah yang menjadi tolok ukur hukum ini. (Tafsir Al-Mizan, Jilid 3, hlm. 255)
Penjelasan Ayat 129 Surah An-Nisa:
Allah berfirman:
“Dan kamu tidak akan mampu berlaku adil di antara istri-istrimu (dalam hal cinta dan kecenderungan hati), sekalipun kamu sangat ingin melakukannya. Karena itu, janganlah kamu terlalu condong (kepada salah seorang) sehingga membiarkan yang lain tergantung (tanpa kepastian). Dan jika kamu memperbaiki (hubungan) dan bertakwa, maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
Di sini, Al-Qur’an menegaskan bahwa keadilan dalam cinta dan kecenderungan hati tidak mungkin tercapai sepenuhnya, meskipun seseorang berusaha keras. Ini adalah sesuatu yang alami, karena hukum Ilahi tidak mungkin bertentangan dengan fitrah manusia atau memerintahkan sesuatu di luar kemampuan manusia. Cinta dan ketertarikan hati dipengaruhi oleh berbagai faktor, sebagian di luar kendali manusia. Oleh karena itu, tidak ada perintah untuk adil dalam hal ini. Namun, dalam perilaku, perlakuan, dan pemenuhan hak, keadilan tetap wajib dijalankan.
Apakah Kedua Ayat Ini Bertentangan?
Dari penafsiran di atas, jelas bahwa tidak ada kontradiksi antara kedua ayat ini:
- Ayat 3 menyatakan bahwa syarat poligami adalah keadilan dalam hak-hak lahiriah (nafkah, perlakuan, dll.).
- Ayat 129 menjelaskan bahwa keadilan dalam cinta dan kecenderungan hati tidak mungkin tercapai sepenuhnya, sehingga tidak diwajibkan.
Dengan demikian, seorang suami wajib adil dalam hal materi dan perlakuan, tetapi tidak dipaksa untuk adil dalam perasaan cinta, karena itu di luar kendalinya. (Tafsir Al-Mizan, Jilid 5, hlm. 163; Tafsir Nemuneh, penjelasan ayat 129 Surah An-Nisa)
Penjelasan Imam Shadiq (as) tentang Keadilan
Dari riwayat Islam diketahui bahwa orang pertama yang mempertanyakan hal ini adalah Ibnu Abi Al-‘Auja’, seorang zindiq di masa Imam Shadiq (as). Ia mengajukan pertanyaan ini kepada Hisham bin Hakam, seorang ulama besar. Karena tidak menemukan jawaban, Hisham pergi ke Madinah untuk bertemu Imam Shadiq (as).
Imam Shadiq (as) menjelaskan:
*”Keadilan dalam ayat 3 Surah An-Nisa adalah keadilan dalam nafkah, hak sebagai istri, dan perlakuan. Sedangkan keadilan dalam ayat 129 adalah keadilan dalam kecenderungan hati, yang mustahil dicapai sepenuhnya.”*
Ketika Hisham menyampaikan jawaban ini kepada Ibnu Abi Al-‘Auja’, ia bersumpah bahwa jawaban ini pasti bukan dari Hisham sendiri, melainkan dari sumber yang lebih tinggi. (Tafsir Nemuneh, Jilid 4, hlm. 155, mengutip Tafsir Al-Burhan, Jilid 1, hlm. 420)
Referensi:
- QS. An-Nisa: 3
- QS. An-Nisa: 82
- Makarim Shirazi, Naser, Tafsir Nemuneh, Tehran, Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, Jilid 3, hlm. 255.
- Tafsir Nemuneh, Jilid 4, hlm. 153.
- Thabathaba’i, Sayyid Muhammad Husain, Tafsir Al-Mizan, Jilid 5, hlm. 163; Tafsir Nemuneh, penjelasan ayat 129 Surah An-Nisa.
- Tafsir Nemuneh, Jilid 4, hlm. 155, mengutip Tafsir Al-Burhan, Jilid 1, hlm. 420.
Kesimpulan:
Kedua ayat ini saling melengkapi dan tidak bertentangan. Keadilan yang wajib dalam poligami adalah keadilan dalam hak-hak lahiriah, sementara keadilan dalam cinta tidak diwajibkan karena di luar kemampuan manusia.
Artikel asli: beytoote.com