Raihlah tanganku, wahai kekasih hatiku.
Kali ini aku datang, namun hanya di hati.
Karenamu aku menyadari siapa diriku.
Akan kubanjiri mata ini untukmu.
Aku anggap diriku penjaga pintu rumahmu.
Semua anggota keluargaku kutitipkan padamu.
Kalau selama ini aku banyak salah…
pasti kau telah menarik tanganku agar tak terjatuh.
Aku merasa tentram di bawah benderamu.
Namun siang dan malam, hatiku bertanya…
kapankah aku bisa datang lagi ke pusaramu?
Meski sekejap saja, hanya untuk mengucap salam.
Dalam kesusahan kau selalu bersamaku…
Jangan tinggalkan aku berangan-angan menziarahimu…
Tariklah tanganku ajak aku berziarah ke pusaramu…
Kau tahu aku hancur karena perpisahan ini.
Tanganku tak akan melepas besi zarihmu.
Begitu aku jauh darimu aku pasti binasa.
Setiap hari aku makan minum dari berkahmu.
Kuharap kau akan sedikit iba padaku.
Hatiku berdarah-dara, namun tak perlu kau pikirkan.
Jiwaku terbakar, namun tak perlu kau hiraukan.
Kepada siapa kuceritakan rinduku padamu ya Husain!?
Begitu meronta kuinginkan Karbala, tapi sudahlah…
Tanganmu terluka, kepalamu juga.
Saudarimu terluka, saudarimu juga.
Kelam kelabu duka merenggut Zainabmu.
Pedihnya tragedi merobohkan Abbasmu.
Saat kau minta air mereka melemparimu dengan batu.
Memang apa salahmu mereka menjarah keluargamu?
Mereka yang datang dan pergi melukaimu.
Entah kepedihan apa yang dirasakan Zainab melihatmu…